Selasa, 01 Mei 2012

3 Alasan Memelihara Hewan Bikin Sehat

Kompas.com - Pemilik hewan peliharaan ternyata punya kemampuan jantung yang lebih baik dalam menghadapi berbagai situasi serius. Ini artinya risiko mereka untuk meninggal karena penyakit jantung lebih kecil dibanding bukan pemilik hewan. Beberapa penelitian telah menegaskan manfaat menyehatkan dari memelihara binatang. Salah satunya menyebutkan mereka yang memelihara hewan memiliki angka survival lebih tinggi setahun pasca operasi gagal jantung. Berikut adalah tiga alasan mengapa bersahabat dengan hewan bisa menyehatkan. - Jika Anda pekerja yang stres Berinteraksi dengan hewan kesayangan merupakan cara yang efektif untuk menurunkan level stres. Tim peneliti dari University at Buffalo memberikan kucing atau anjing kepada para pialang saham yang seperti diketahui memiliki stres tinggi. Setelah 6 bulan ternyata tekanan darah dan detak jantung para pialang saham itu lebih stabil. - Jika Anda tak suka anjing atau kucing Anjing dan kucing adalah hewan peliharaan yang populer dan banyak menjadi subyek penelitian mengenai relasi antara majikan dengan peliharaannya. Padahal, efek menyehatkan juga didapatkan pada berbagai jenis hewan peliharaan, termasuk ular atau iguana. "Bukan cuma jenis hewannya, tapi efek menyehatkan itu didapat dari pertemanan dengan hewan-hewan itu yang berdampak positif bagi kita," kata Allen McConnel, profesor dari Miami University. - Jika Anda lajang Tidak punya pasangan? Jangan khawatir. Penelitian menunjukkan hewan kesayangan memberikan dukungan sosial yang bisa dibandingkan dengan yang kita dapatkan dari manusia lain. Berteman dengan mereka juga mengurangi hormon-hormon stres. Para pemilik hewan peliharaan juga punya tingkat aktivitas fisik lebih tinggi karena mereka punya rutinitas untuk mengajak "sahabatnya" berjalan-jalan. Aktivitas ini juga menjadi cara untuk berteman dengan para pemilik hewan lainnya.

Penyebab Kambuhnya Pasien Gangguan Jiwa

MAGELANG, KOMPAS.com - Gangguan jiwa termasuk dalam penyakit yang statusnya sama dengan penyakit lain yang bisa diobati dan disembuhkan. Pada banyak kasus, pasien gangguan jiwa secara medis dinyatakan sembuh dan dikembalikan kepada keluarganya. Namun, dalam beberapa bulan mengalami kekambuhan. Kekambuhan kembali mantan penderita gangguan jiwa sebagian besar disebabkan oleh kurangnya perhatian dari lingkungan dan bahkan keluarga sendiri sehingga berakibat pada lambatnya proses penyembuhan. Hal itu diungkapkan dr. Eniarti M.Sc. Sp.Kj, Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang, Jateng. "Belakangan ini pandangan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa selalu diidentikkan dengan sebutan orang gila yang dianggap sebagai suatu masalah yang negatif dan mengancam. Itu mindset yang salah," terangnya, Selasa (20/3/21012). Akibat pola pikir yang keliru di masyarakat, banyak keluarga pasien penyakit jiwa yang tidak mau menerima anggota keluarganya setelah sembuh secara medis. Akhirnya, penyakit pasien kambuh dan terpaksa dirawat kembali ke rumah sakit. "Jadi, perhatian positif dari keluarga dan lingkungan sangat dibutuhnkan para mantan penderita gangguan jiwa, bagaimana mereka menerima kembali dengan baik mantan penderita gangguan jiwa, keluarga dan masyarakat sekitar harus memperlakukan mereka secara manusiawi, kasih sayang, diajak melakukan aktivitas sehari-hari dan lain-lain," tegasnya. Oleh sebab itu, pihaknya berupaya memberikan pendidikan bagi keluarga dan masyarakat terkait hal tersebut, antara lain dengan mengunjungi keluarga pasien sebelum pasien dipulangkan. Dalam home visist tersebut, tim khusus dari RSJ akan memberikan penjelasan pasca kesembuhan penderitan gangguan jiwa. Pihaknya juga terus bekerjasama dengan puskesmas-puskesmas maupun balai pengobatan yang ada untuk melakukan pengawasan.

Makin Sedikit, Waktu Orangtua Bermain dengan Anak

KOMPAS.com — Masa kanak-kanak adalah masa untuk bermain. Kesempatan berinteraksi dan bermain bersama orangtua di luar ruangan atau di alam bebas adalah momen yang sangat berharga sekaligus bermanfaat bagi proses tumbuh kembang anak. Sayangnya, tidak semua anak kini mendapatkan kesempatan tersebut. Survei terbaru di Amerika Serikat menunjukkan, setengah dari anak-anak prasekolah tidak menghabiskan waktu bermain di luar rumah dengan orangtua mereka setiap hari. Dalam wawancara dengan orangtua yang melibatkan hampir 9.000 anak-anak, kurang dari 50 persen dari para ibu dan hanya 25 persen dari ayah yang mengaku pernah mengajak anak-anak mereka untuk berjalan-jalan atau bermain dengan mereka di halaman atau taman setidaknya sekali sehari. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine. "Hal ini mungkin tidak masuk akal bagi kebanyakan orangtua, terutama bagi orangtua yang bekerja di luar rumah, karena tidak mudah untuk memiliki waktu bermain di luar rumah dengan anak setiap hari," kata Dr Pooja Tandon, spesialis anak dari University of Washington, Seattle, yang ikut menggarap studi ini. Menurutnya, bermain di luar ruangan sebenarnya dapat memberikan berbagai macam manfaat untuk anak-anak. Panduan dari National Association for Sport and Physical Education menunjukkan, anak-anak harus mendapatkan setidaknya satu jam untuk beraktivitas fisik setiap hari guna memperoleh manfaat kesehatan dalam jangka panjang, seperti menangkal obesitas. Anak-anak prasekolah juga harus mendapatkan beberapa jam bermain tidak terstruktur setiap hari, sesuai dengan rekomendasi. Dalam risetnya, Tandon dan rekan-rekannya menggunakan data anak-anak asal Amerika yang lahir pada tahun 2001. Dalam kajiannya, peneliti bertanya kepada para orangtua tentang seberapa sering mereka mengajak anak-anak (yang memasuki usia prasekolah) bermain di luar rumah dalam kurun satu bulan terakhir. Empat puluh empat persen dari ibu dan 24 persen ayah mengatakan, selalu mengajak bermain anak mereka di luar ruangan setiap hari. Menurut hasil wawancara, setengah dari anak-anak harus pergi ke luar untuk bermain setidaknya sekali sehari apakah itu dengan ibu atau ayah mereka. Keamanan lingkungan tampaknya juga tak menjadi penghalang penting untuk mereka bermain di luar rumah. Pasalnya, lebih dari sembilan dari sepuluh orangtua mengatakan bahwa lingkungan rumah mereka selalu dalam kondisi aman. Tandon dan rekan menemukan bahwa anak-anak lebih sering bermain di luar ruangan dengan teman mereka setiap hari. Tandon menyarankan agar orangtua melakukan komunikasi dengan orang dewasa lain yang merawat anak-anak mereka, seperti misalnya guru prasekolah, untuk menekankan pentingnya aktivitas dan bermain di luar ruangan. Peneliti lain dari University of Wyoming, Tami Benham Deal, mengatakan, orangtua juga perlu mempertimbangkan dan memilih jenis aktivitas atau olahraga yang bermanfaat bagi anak-anak saat bermain di luar ruangan. "Ketika di luar, anak-anak mungkin duduk di bak pasir menghabiskan 20-30 menit membangun istana pasir dan terowongan. Dalam permainan tersebut, intensitas aktivitas fisik tentu sangat rendah," kata Benham Deal, yang tidak terlibat penelitian. "Orangtua harus mendorong anak-anak mereka aktif secara fisik dan orangtua sudah tahu betapa pentingnya hal itu. Aktivitas memegang peranan penting dalam mempengaruhi fisik anak-anak," tutur Benham. Sumber :Reuters

Game "Focus Pocus" Perbaiki Konsentrasi Anak

KOMPAS.com - Ini adalah kabar baik bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan konsentrasi. Para peneliti dari Universitas Wollongong bekerja sama dengan sebuah perusahaan software Inggris belum lama ini berhasil mengembangkan game komputer yang dapat membantu memperbaiki perilaku anak. Seperti yang disiarkan dalam jurnal ilmiah ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorders), para ahli menemukan terapi alternatif bagi anak penyandang ADHD yang bebas obat-obatan karena menggunakan basis pengembangan game komputer yang dirancang untuk anak-anak. ADHD, atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder adalah gangguan psikologis yang paling sering ditemui pada anak usia sekolah. Gejala utama ADHD adalah hiperaktivitas, kesulitan mempertahankan konsentrasi, serta impulsivitas. Menurut penulis utama yang juga Profesor Asosiasi Psikologi, Stuart Johnstone, penelitian tersebut dilakukan setelah para orang tua khawatir akan konsumsi obat yang terlalu banyak untuk anak-anak mereka. "Para orang tua cemas dengan jenis pengobatan yang diberikan kepada anak-anak mereka, oleh sebab itu mereka meminta perawatan yang bebas obat berdasarkan dengan penelitian kami," kata Johnstone. Johnstone juga mengatakan bahwa target utama dari terapi tersebut adalah meminimalisir gangguan karena distraksi dan meningkatkan konsentrasi serta ketenangan perilaku. Perkembangan perilaku yang lebih baik, kata Johnstone, baru akan terlihat setelah anak tersebut menyelesaikan pelatihan pada game komputer selama enam minggu. Para peneliti bekerja sama dengan perusahaan mandiri perangkat lunak, NeuroCog Solutions untuk merancang dan mengembangkan game komputer bernama Focus Pocus itu. Permainan yang dimaksudkan untuk anak berusia 7-13 tahun itu, akan melatih aspek kognitif anak dan membantu gelombang otak untuk melatih anak agar lebih santai dan perhatian. "Permainan ini sangat unik, karena bertujuan pada proses fundamental anak seperti ingatan, kontrol impulse, dan kemampuan untuk berkonsentrasi," kata Johnstone. Dalam game tersebut, setiap pemain akan berperan sebagai penyihir dalam sekitar 12 permainan. Permainan tersebut dikendalikan sepenuhnya oleh pikiran dan dapat dipantau melalui alat electroencephalography bernama EEG NeuroSky Mindwave. Orang tua dapat memantau kemajuan anak-anak mereka melalui laporan yang disampaikan secara online dengan sistem feedback yang disebut FocusIn. Sistem ini akan memberi laporan bagian mana yang mengalami kemajuan.

Sekolah Inklusi Belum Siap Menampung ABK

JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan sekolah inklusi ternyata belum sepenuhnya membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti misalnya autis. Pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang di didik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi anak. Dr. Adriana S. Ginanjar, M.S, psikolog dan Koordinator Klinik Terpadu, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menyambut baik kebijakan pemerintah yang meminta sekolah-sekolah baik negeri atau swasta untuk menjadi sekolah inklusi. Tetapi sayangnya, masih banyak sekolah yang belum siap menjalankannya. "Sampai saat ini masih banyak sekolah inklusi yang belum siap," ucap Adriana, saat ditemui dalam acara Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations, dengan tema Autism Awareness Festival, Sabtu, (14/4/2012). Adriana mencontohkan, seperti misalnya jumlah siswa di dalam satu kelas yang masih terlalu banyak (40 orang). Padahal, untuk sekolah inklusi yang di dalamnya ada anak dengan berkebutuhan khusus, minimal hanya boleh 20 orang dalam satu kelas. Ketidaksiapan lainnya bisa dilihat dari tenaga pengajar yang belum memenuhi persyaratan. Menurut Adriana, guru seharusnya mengetahui soal gangguan autis atau kalau perlu mengikuti pelatihan yang mengajarkan metode-metode penanganan anak autis. "Artinya persyaratan-persyaratan itu belum semuanya di ikuti sekolah," katanya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan dari teman-teman sebaya mereka. Karena masih banyak anak dengan autis yang mendapatkan bullying (intimidasi) dari teman-teman mereka yang lain (normal). Adriana menyampaikan, sebelum memutuskan anak untuk sekolah ada baiknya orangtua terlebih dahulu melakukan persiapan. Misalnya, bertanya kepada teman (sesama orangtua yang memiliki anak autis) yang sudah terlebih dahulu memiliki pengalaman saat memasukkan anak mereka ke sekolah umum. Dengan begitu, Anda akan mendapat rekomendasi, mana sekolah yang bagus dan tidak. Anda (orangtua) juga bisa bertanya kepada pihak sekolah tentang kebijakan sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus. Karena pada beberapa kasus ada sekolah yang secara sepihak tiba-tiba mengeluarkan anak berkebutuhan khusus dengan beragam alasan. Meski begitu, Adriana mengungkapkan, ada beberapa sekolah yang masih mau membantu anak berkebutuhan khusus misalnya dengan menyediakan guru bantu atau shadow teacher. Adriana menambahkan, menentukan apakah anak bisa masuk sekolah umum atau tidak sebenarnya tergantung dari anaknya. "Kalau anak tidak memiliki masalah tingkah laku dan kemampuan kognitif baik, maka harus masuk sekolah inklusi. Tapi kalau tingkahlaku, bicara, dan pemahaman bermasalah jangan dimasukin sekolah inklusi," jelasnya.

Nonton Film Sedih Justru Bikin Bahagia

KOMPAS.com - Menonton film sedih ternyata dapat memberikan efek sebaliknya bagi mereka yang menonton. Sebuah riset terbaru mengindikasikan, menonton film sedih justru membuat orang lebih bahagia karena menyebabkan mereka untuk berpikir tentang orang yang mereka cintai. "Kisah tragis sering fokus pada tema percintaan yang kekal, dan ini menyebabkan penonton untuk berpikir tentang orang yang mereka cintai dan mengingat betapa beruntungnya mereka karena tidak mengalami hal itu," kata pemimpin studi, Silvia Knobloch-Westerwick, seorang profesor komunikasi dari Ohio State University, Columbus. Penelitian ini melibatkan 361 mahasiswa yang menonton versi singkat dari film berjudul Atonement, di mana mengisahkan dua pasang kekasih yang terpisah dan mati saat Perang Dunia II. Sebelum dan setelah film, para peserta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengukur seberapa bahagia mereka dengan kehidupan mereka. Hasil kajian menunjukkan, semakin sering mereka menonton film itu, membuat peserta berpikir tentang orang yang mereka cintai dan semakin besar tingkat kebahagiaan mereka. Tapi untuk beberapa peserta yang egois, hal ini tidak terlalu berpengaruh karena mereka berpikir, "Hidup saya tidak seburuk seperti karakter dalam film" - sehingga tidak mengalami peningkatan kebahagiaan. "Orang-orang tampaknya menggunakan cerita atau film tragis sebagai cara untuk mencerminkan betapa pentingnya sebuah hubungan dalam kehidupan mereka sendiri dan berpikir berapa banyak keuntungan yang telah mereka dapat," kata Knobloch-Westerwick. "Temuan ini bisa membantu menjelaskan mengapa film tragedi begitu populer dikalangan masyarakat, meskipun menyebabkan kesedihan bagi mereka," tutupnya Penelitian ini dipublikasikan secara online dan cetak dalam journal Communication Research. Sumber :healthdaynews

Kecemasan Terkait dengan IQ Tinggi

KOMPAS.com - Sebuah riset terbaru menemukan adanya hubungan antara tingkat kecemasan dan tingkat IQ. Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang didiagnosa mengalami gangguan kecemasan cenderung memiliki tingkat IQ yang lebih tinggi. Bahkan jika dibandingkan orang sehat, mereka yang memiliki gangguan kecemasan cenderung memiliki skor IQ lebih tinggi serta tingkat aktivitas yang lebih tinggi di daerah otak, yang membantu dalam komunikasi antara bagian otak. "Wilayah ini diperkirakan telah memberikan kontribusi bagi keberhasilan evolusi manusia," kata peneliti yang mempublikasikan risetnya pada 1 Februari 2012 dalam jurnal Frontiers di Evolusionary Neuroscience. Dr Jeremy Coplan, pemimpin studi dan profesor psikiatri dari State University of New York Downstate Medical Center mengatakan, meskipun kita cenderung untuk melihat kecemasan sebagai suatu yang tidak baik, tapi hal ini sangat terkait dengan kecerdasan - suatu sifat yang sangat adaptif. Dalam kajiannya, peneliti melibatkan 26 pasien dengan gangguan kecemasan dan 18 orang sehat untuk menyelesaikan ujian tes IQ. Peserta juga diminta mengisi kuisioner untuk menilai tingkat kecemasan mereka. Di antara peserta dengan gangguan kecemasan, mereka yang memiliki tingkat kekhawatiran lebih tinggi, memiliki tingkat IQ yang lebih tinggi pula. Menariknya, hasil berbeda justru ditunjukkan pada pasien sehat. Mereka yang memiliki skor IQ lebih tinggi cenderung memiliki tingkat kekhawatiran yang lebih rendah, dan mereka yang memiliki skor IQ rendah cenderung memiliki tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi. Coplan mengungkapkan, seseorang yang memiliki sedikit rasa cemas dapat menimbulkan masalah bagi individu dan masyarakat. Karena orang-orang ini tidak mampu melihat bahaya apapun, bahkan ketika bahaya sudah dekat. "Jika orang-orang ini berada dalam posisi sebagai pemimpin, mereka akan menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa tidak perlu khawatir," kata Coplan. Sumber :www.myhealthnewsdaily.com