Jumat, 30 September 2011

Tambah Sehat Berkat Memaafkan

Saling meminta maaf lahir batin merupakan bagian dari tradisi Idul Fitri. Di luar konteks ibadah, memaafkan atau melepaskan luka batin ternyata juga mendatangkan manfaat positif bagi kesehatan karena bisa membuat seseorang jadi lebih sehat jiwa dan raga.

Jika kita bisa mememafkan dan melupakan secara tulus, ada banyak keuntungan yang menyehatkan. Penelitian menunjukkan sikap memaafkan membantu menurunkan teranan darah, menguatkan sistem imun, dan menurunkan sirkulasi hormon stres dalam darah.

Penelitian juga menunjukkan orang yang sudah mampu memaafkan mengaku gejala-gejala gangguan pencernaan, sakit kepala dan juga nyeri punggungnya berkurang.

Dalam sebuah penelitian terhadap 71 orang terungkap efek langsung dari kemarahan. "Ketika para responden fokus pada hal-hal yang tak termaafkan, tekanan darah mereka naik, demikian juga dengan detak jantung," kata Charlotte vanOyen Witvliet, kandidat profesor psikologi dari Hope College.

Sebaliknya, ketika mereka diminta merespon sesuatu dengan maaf, otot-otot menjadi rileks dan napas lebih teratur.

Bukan hanya itu sikap mengampuni juga terkait erat dengan kesehatan mental yang baik. Memaafkan akan mengurangi kemarahan, depresi, dendam, kebencian, dan berbagai emosi negatif lainnya. Intinya, memaafkan membuat kita lebih berbahagia.

Kendati demikian banyak orang yang menganggap memaafkan itu sulit. Tentu saja memaafkan dari hati terdalam tidak dapat dipaksakan. Bila situasinya sangat menyakitkan, mungkin untuk sementara cukup kita melihat memaafkan sebagai murni fenomena internal diri.

Akan tetapi kita bisa memunculkan dorongan untuk memaafkan dengan cara mengatur pikiran bahwa pemaafan adalah bentuk kasih sayang, diperlukan untuk mengembangkan kedamaian hubungan, serta mencegah balas dendam.

Everett L.Worthington Jr, profesor psikologi dan penulit buku Forgiveness and Reconcilliation:Theory and Applications, membagi sikap memaafkan dalam dua tipe.

Pertama adalah keputusan memaafkan (decisional forgiveness), dimana seseorang memilih untuk melepaskan pikiran yang menyebabkan marah. Misalnya kita mengatakan pada diri sendiri "Saya tidak akan membalas dendam", atau "Saya akan menghindari orang itu,".

"Kita bisa memilih keputusan memaafkan tetapi masih ada emosi yang tidak memaafkan di dalam hati," kata Worthington.

Seharusnya yang kita capai adalah memaafkan emosional, yakni mengganti emosi negatif seperti dendam, kebencian, marah, dan takut, menjadi perasaan simpati, empati, kasih, dan cinta.

"Memaafkan emosi lebih berdampak pada kesehatan karena ketika kita tidak bisa melakukannya akan timbul reaksi stres kronik akibat obsesi pada hal-hal menyakitkan yang terjadi. Kita terus memandang diri kita sebagai korban," katanya.

kompas.com

Gangguan Mental Bisa Dideteksi Sejak Dini

Masalah gangguan mental sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan skrining sejak dini, khususnya sejak masa kanak-kanak. Anak yang mengalami gejala seperti selalu merasa cemas wajib diskrining, untuk mencegah berkembangnya masalah mental yang berat di kemudian hari.

Hal tersebut disampaikan oleh Profesor Hans Ulrich Witten, selaku pemimpin penelitian dalam sebuah studi kesehatan mental di Eropa. Riset dilakukan selama tiga tahun, yang melibatkan lebih dari 500 juta orang di 30 negara. Hasil riset ini dipublikasikan dalam journal European Psychopharmacology.

Diperkirakan bahwa 38,2 persen atau 165 juta orang di Eropa menderita gangguan mental dan kecemasan pada semua kelompok umur. Pada anak-anak bentuk gangguan mental bisa berupa gangguan pola makan, sementara demensia atau kepikunan lebih sering terjadi pada orang tua.

Witten mengatakan, angka kejadian depresi naik dua kali lipat sejak tahun 1970-an. Depresi umumnya terjadi ketika seseorang menginjak usia 20-an, setelah mereka melewati masa remaja dan mulai merasa tidak aman dengan dunianya.

Gangguan kecemasan mempengaruhi 14 persen dari populasi. Melakukan skrining sejak dini menurut Witten sangat efektif dalam mengurangi perkembangan ke arah depresi sebesar 60 persen.

Menurut Witten, perempuan berusia 25-40 tahun, tiga sampai empat kali lebih berisiko menderita depresi. "Ada tingkat depresi yang sangat tinggi ketika wanita memiliki bayi, membesarkan anak-anak ditambah dengan pekerjaan dan keluarga," katanya.

Sementara itu profesor David Nutt, Kepala Departemen Neuropsychopharmacology di Imperial College, London, mengatakan, "Jika Anda bisa mendeteksinya sejak awal, Anda dapat mengubah arah penyakit sehingga tidak berujung pada ke cacatan," tandasnya.

Gangguan kecemasan juga menjadi alarm adanya penyakit degenerasi yang menyerang saraf seperti parkinson. "Terapi perilaku kognitif sangat efektif mencegah berkembangnya gangguan kecemasan. Dengan 10-20 sesi manfaatnya bisa berlangsung dalam jangka panjang," katanya.

kompas.com

Reaksi Tubuh Saat Jatuh Cinta

Jatuh cinta berjuta rasanya. Kalimat tersebut tampaknya menggambarkan dengan tepat bagaimana perasaan seseorang ketika hati sedang dimabuk cinta.

Para ilmuwan sejak lama sudah menaruh perhatian pada reaksi kimia tubuh ketika seseorang sedang jatuh cinta. Diketahui bahwa neurotransmiter tertentu di dalam otak, seperti dopamin, oksitosin, norepinephrin dan phenetylamine, menjadi aktif.

Reaksi kimia tersebut sangat berpengaruh pada mood, membuat tubuh dalam kewaspadaan, serta membuat kita lebih mudah menjalin kedekatan emosi dengan orang lain.

"Jatuh cinta memberi pengaruh tertentu pada otak seperti halnya saat mengonsumsi zat aditif. Bagian otak yang aktif adalah pusat ganjaran (reward center), seperti saat kita mengonsumsi narkoba," kata Ethlie Ann Vare, penulis buku Love Addict: Sex, Romance, and Other Dangerous Drugs.

Berikut hal-hal yang terjadi pada tubuh ketika kita sedang menikmati indahnya jatuh cinta.

Sulit tidur

Sulit memejamkan mata di malam hari merupakan pengaruh dari terlalu banyaknya dopamin dan neropineprin sebagai respon perasaan berbunga-bunga yang dialami orang yang jatuh cinta. "Tubuh sedang dalam energi tinggi. Ini juga menjelaskan mengapa wajah kita kerap merona jika menginat dirinya," kata Dr.Helen Fisher, penulis buku Why Him, Why Her.

Tak nafsu makan

Saat kita sedang tergila-gila pada seseorang, menelan makanan jadi terasa sulit. Menurut para psikolog, fase ini merupakan masa dimana pikiran dipenuhi oleh obsesi pada orang yang dicintai. Kendati begitu, meski tidak nafsu makan orang yang sedang mabuk asmara tetap mampu melakukan aktivitasnya karena tubuhnya tidak kekurangan energi.

Sulit konsentrasi Meski bisa berpikir dengan jernih tetapi yang ada di dalam pikiran hanyalah tentangnya. Para ilmuwan mengatakan hal tersebut terjadi karena kadar dopamin yang tinggi sehingga kita bersikap obesesif. Kita jadi mengingat dengan detil semua hal yang dilakukan kekasih, apa yang dikatakan, cara ia tersenyum, dan hal-hal kecil lainnya.

Dada terasa nyeri

Ketika seseorang merasakan dada terasa seperti tertekan dan nyeri, bisa jadi itu merupakan serangan panik. "Saat sedang jatuh cinta, sirkuit otak yang aktif adalah yang berkaitan dengan kecemasan dan panik," kata Fisher.

Mual dan perut tidak nyaman

Hampir kebanyakan orang pernah merasakan sensasi rasa tidak nyaman di perut sesaat sebelum sesuatu yang istimewa akan terjadi. Jatuh cinta memiliki tingkat istimewa yang sama. Hal ini akan menyebabkan otak melepaskan beberapa hormon yang mempengaruhi sirkulasi darah ke bagian perut sehingga timbul rasa tidak nyaman.

Beberapa mengaku merasa seperti ada kupu-kupu di perut. Ada pula yang merasakan kaki terasa lemas, mulut kering, detak jantung meningkat dan tangan berkeringat. Kabar baiknya, jika hubungan itu tetap awet, perasaan ini berubah menjadi ikatan yang dalam dan menenangkan.

kompas.com

Kematian Bayi Bisa Bikin Patah Hati

Kesedihan berkepanjangan akibat kematian bayi yang baru dilahirkan bisa menyebabkan rasa kehilangan yang tak berujung. Perasaan duka ini bisa menyebabkan patah hati bahkan memperpendek usia orang yang mengalaminya.

Rasa kehilangan merupakan hal yang wajar dialami siapa pun yang ditinggalkan orang yang dicintainya. Dalam penelitian yang dilakukan di Inggris, duka mendalam para orangtua yang kehilangan bayi barunya akan meningkatkan risiko kematian dalam 10 tahun terakhir pasca meninggalnya buah hati.

Para peneliti membandingkan dampak kematian bayi pada orangtua yang kehilangan bayinya dalam setahun pertama atau bayi yang meninggal karena keguguran, dengan orangtua yang bayinya bertahan hidup lebih dari usia setahun.

Hasilnya diketahui orangtua yang kehilangan bayinya beresiko empat kali lebih tinggi untuk meninggal dalam periode 10 tahun pasca kematian bayi. Dampak kehilangan yang terbesar ini terutama dirasakan oleh ibu. Dampak dari kesedihan tersebut akan berkurang dari waktu ke waktu.

Sayangnya dalam penelitian itu tidak disebutkan penyebab kematian orangtua yang berdua itu, namun diduga terkait dengan penyalahgunaan alkohol atau bunuh diri karena depresi yang tidak ditangani.

kompas.com

Indonesia Menuju Bebas Pasung

Orang dengan masalah kejiwaan kerap terlantar dan mendapatkan tindakan penyiksaan, misalnya dengan pemasungan. Padahal gangguan kejiwaan merupakan penyakit yang bisa ditangani secara medis. Karena itu tahun 2011 ini pemerintah akan mencangkan Indonesia bebas dari pasung.

Hal tersebut disampaikan oleh drg. Suyatmi, Kepala Sub Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Non Fasilitas Pelayanan Kesehatan. "Pada tahun 2011 ini akan dicanangkan Indonesia bebas pasung oleh Wakil Presiden Boediono pada bulan Oktober," paparnya disela-sela acara Pertemuan Peningkatan Peran Media Masaa Tentang Kesehatan Jiwa, Kamis, (8/92011), Bandung.

Pencanangan tersebut menurut Suyatmi akan dilakukan bertepatan dengan puncak Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Seperti diketahui, layanan mengenai kesehatan jiwa sudah diatur dalam Undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009 Bab IX. Salah satu isinya dalam pasal 144 mengatakan, masyarakat berhak mendapatkan pemberian informasi dan edukasi pada masyarakat tentang kesehatan jiwa.

Suyatmi mengatakan, program terobosan yang saat ini tengah dilakukan Kementerian Kesehatan lebih menitik beratkan pada upaya preventif dan promotif. "Sekarang intinya hentikan orang-orang yang dipasung dengan melatih dokter, perawat di puskesmas. Disamping juga penyediaan obat-obatan di Puskesmas dan itu sudah kami mulai," tegasnya.

Hal tersebut menurut Suyatmi sejalan dengan rekomendasi WHO, terutama dalam mengoptimalkan fungsi Puskesmas sebagai penyedia layanan untuk orang dengan masalah kejiwaan.

Ia menambahkan, pada tahun 2011 ini sudah ada 900 Puskesmas yang sudah melayani terapi dan pengobatan kasus untuk gangguan jiwa. "Tahun 2014 nanti diharapkan akan meliputi 40 persen dari seluruh Puskesmas di Indonesia," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, khusus untuk daerah Aceh, tahun 2011 ini pemerintah daerah (Pemda) Aceh telah menyatakan bebas pasung. "Tapi artinya kita menekankan bukan hanya terlepas dari pasung saja, tetapi bagaimana supaya tidak dipasung lagi," tandasnya.

Selain pemaksimalan fungsi Puskesmas, upaya-upaya lain juga terus digalakkan seperti misalnya pembentukan kader kesehatan jiwa dan meningkatkan peran psikolog klinik dalam usaha preventif, dan promotif.


kompas.com

Pasien Gangguan Jiwa Identik dengan "Gila"

Penderita gangguan jiwa seringkali mendapatkan diskriminasi dan stigma negatif di masyarakat sebagai orang yang tidak waras atau gila. Media juga kerap memberitakan atau menyiarkan secara vulgar dan tidak menghormati hak-hak privasi seseorang.

"Di media sering digambarkan orang dengan masalah kejiwaan atau yang menderita skizofrenia secara salah, seperti menyebut mereka sebagai orang gila. Dalam media penyiaran televisi mereka sering digambarkan sebagai pribadi yang kacau, berbahaya, dan perlu disingkirkan dari kehidupan sosial," kata dr.Kuntjoro Adi Purjanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Bandung, Jumat (9/9/11).

Ia menyoroti salah satu contoh pemberitaan kasus bunuh diri di media secara vulgar, baik gambar atau peristiwanya secara detail. "Padahal secara kejiwaan, pemberitaan dan penggambaran detail tentang peristiwa bunuh diri, baik motif maupun cara dan tempat melakukan bunuh diri, dapat memberi inspirasi seseorang untuk berbuat hal yang sama," ungkapnya.

Stigma negatif tentang pasien gangguan jiwa yang paling mudah ditemui sehari-hari, menurut dia adalah penggunaan istilah gila, sinting, saraf, edan, dan sebagainya. Kuntjoro menambahkan saat ini istilah untuk pasien gangguan jiwa adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan.

Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah pembentukan opini publik tentang sarana kesehatan jiwa, seperti rumah sakit jiwa dan yayasan yang menampung penderita gangguan jiwa.

"Tempat-tempat ini sering diceritakan atau divisualisasikan sebagai tempat yang anker, tempat penampungan orang-orang yang tidak berguna atau tempat penyiksaan orang-orang yang sakit jiwa," katanya.

Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007 menyebutkan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk yang berumur lebih dari 15 tahun mencapai 11,6 persen (sekitar 19 juta penduduk), sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah 0,46 persen (kira-kira 1 juta penduduk).

Menurut dr.Pandu Setiawan, Sp.KJ, gangguan jiwa ditandai dengan adanya gangguan pikiran, perasaan, atau tingkah laku yang mengakibatkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari (pekerjaan dan sosial).

Gangguan jiwa sebenarnya bisa dideteksi sejak dini dan dicegah. Kuncinya adalah kepekaan keluarga dalam melihat setiap perubahan terhadap anggota keluarga lain yang mungkin mengarah ke gangguan kesehatan jiwa.

"Setiap individu harus belajar tahap-tahap perubahan kepribadian seseorang. Kepekaan itu datang harus dari dalam diri masing-masing anggota keluarga," kata Pandu.


kompas.com

5 Manfaat Bermain untuk Anak

Jangan remehkan aktivitas bermain anak. Tampaknya memang kegiatan itu hanya pengisi waktu luang, tetapi ketika si kecil bermain rumah-rumahan atau menyusun balok-balok, mereka sedang membangun keterampilan hidup yang krusial. Manfaat lainnya adalah menyiapkan otak mereka untuk tantangan yang kelak akan dihadapinya.

Sayangnya, para pakar perkembangan anak mengatakan, saat ini waktu bermain anak-anak semakin berkurang. Oleh karena itu, kami sajikan 5 bukti ilmiah dari manfaat bermain untuk buah hati Anda. Semoga setelahnya Anda bersemangat untuk meluangkan waktu bermain bersama mereka. 1. Berperilaku lebih baik

Menurut studi tahun 2009 yang dimuat dalam jurnal Pediatrics, anak-anak berperilaku lebih baik di kelas ketika mereka punya waktu lebih banyak untuk bermain di taman. Para ilmuwan mengukur penilaian para guru terhadap perilaku murid berusia 8-9 tahun di sekolah. Perilaku yang dibandingkan adalah antara anak yang diberi waktu istirahat dan tidak.

Anak-anak yang memiliki waktu istirahat 15 menit di sela pelajaran memiliki perilaku yang lebih baik selama di kelas. Sayangnya lebih dari 10.000 anak dalam penelitian ini hanya memiliki waktu jeda kurang dari 15 menit setiap harinya.

2. Bekerja dalam tim

Bermain juga mengajarkan anak berempati. Dengan bermain dalam kelompok anak akan belajar memperhatikan perasaan orang lain. Aktivitas bermain juga membuat anak belajar mengatur emosinya, keterampilan yang sangat membantunya menghadapi masalah di masa depan.

3. Banyak bergerak

Asosiasi Penyakit Jantung Amerika merekomendasikan anak-anak berusia di atas dua tahun harus melakukan aktivitas fisik yang disukainya sedikitnya sejam setiap hari. Bukti ilmiah juga menunjukkan anak yang aktif akan tumbuh menjadi orang dewasa yang aktif dan lebih menyukai olahraga.

4. Meningkatkan kemampuan belajar

Sebuah riset tahun 2009 yang dipublikasikan dalam Journal of School Health menemukan makin baik hasil tes aktivitas fisik anak, makin bagus pula kemampuan tes akademik mereka. Walau terkesan main-main namun dari berbagai permainan yang dilakukannya sebenarnya anak bisa belajar banyak hal, seperti matematika dan kemampuan berbahasa.

5. Membuat gembira

Bermain merupakan dunia anak. Kegembiraan dari aktivitas permainan telah diteliti oleh kelompok peneliti di sekolah lingkungan miskin yang anak-anaknya banyak yang putus sekolah. Mereka mengajarkan anak-anak aneka permainan di taman bermain. Hasilnya diketahui anak-anak merasa lebih aman dan merdeka setelah bermain. Seperti halnya orang dewasa yang butuh waktu jeda untuk melepaskan tekanan, anak-anak juga.

kompas.com

Menonton Kartun Bikin Anak Sulit Konsentrasi

Sering menonton film kartun dengan perubahan adegan yang cepat ternyata dapat merugikan kemampuan balita untuk berkonsentrasi dan memecahkan teka-teki berbasis logika, serta merusak memori jangka pendek mereka, demikain hasil sebuah penelitian di AS menyebutkan.

Riset yang dilakukan oleh ilmuwan dari University of Virginia ini melibatkan 64 anak yang secara acak dibagi dalam tiga kelompok.

Satu kelompok diminta secara khusus menonton sembilan menit kartun SpongeBob SquarePants yang populer, di mana perubahan adegan terjadi pada rata-rata setiap 11 detik.

Kelompok lain mengamati kartun pendidikan dengan perubahan adegan rata-rata setiap 34 detik, sedangkan kelompok terakhir diizinkan untuk menggambar.

Setelah itu anak-anak kemudian diminta untuk menyelesaikan berbagai tes. Yang pertama, tes teka-teki, dan tes yang kedua adalah tes mengikuti petunjuk.

Hasilnya, terlihat kelompok anak yang sebelumnya diminta untuk menonton kartun lebih lambat menyelesaikan berbagai tes, bila dibandingkan dengan kelompok yang menonton kartun yang lambat dan kelompok yang menggambar.

"Percobaan memperlihatkan anak-anak menunjukkan prestasi yang lebih buruk setelah melihat kartun. Bahkan ada temuan yang didukung penelitian lain yang menemukan efek jangka panjang akan fakta negatif ini," tutup salah satu peneliti Dr Angeline Lillard yang mempublikasikan risetnya dalam jurnal Pediatrics.(fen)

kompas.com


Sikap Positif Ortu Bantu Anak Belajar

Setiap orangtua pasti ingin anaknya menjadi bintang kelas. Tetapi, harapan ini tak jarang membuat orangtua selalu menuntut anaknya untuk terus belajar sehingga tanpa disadari anak menjadi tertekan.

Studi terbaru menunjukkan, sangat penting bagi orangtua untuk memiliki sikap yang baik dan positif ketika menyuruh anak-anak mereka menyelesaikan pekerjaan rumah (PR).

Para peneliti mengatakan, anak-anak akan memiliki motivasi untuk mengerjakan PR jika orangtua menunjukkan sikap yang positif, mendukung dan menekankan nilai pembelajaran, daripada hanya berfokus pada penyelesaian tugas atau mendapatkan nilai yang bagus.

Temuan tersebut berdasarkan hasil pengamatan oleh para peneliti di Ben-Gurion University of the Negev, Israel, terhadap 135 anak kelas empat dan para orangtua.

"Orangtua dapat memperbaiki kompetensi dengan membiarkan anak-anak mengerjakan sendiri tugas mereka. Selain juga dengan memberikan sinyal kepada anak bahwa mereka sangat disayangi dan dikagumi, tidak peduli seberapa sukses ia dalam pelajaran Matematika atau Bahasa," kata Dr Idit Katz dan rekan dalam laporan terbaru jurnal Learning and Individual Differences.

Katz menambahkan, orangtua harus memahami lebih dahulu motivasi, sikap, dan kompetensi mereka sebelum mencoba untuk mengubah kebiasaan anak dalam mengerjakan PR.

"Sedikit penelitian formal telah dilakukan mengenai pengaruh lingkungan rumah ketika anak mengerjakan PR. Lingkungan rumah sama pentingnya dalam memberikan motivasi positif bagi anak sekolah," tambahnya.


kompas.com

Kekuatan Sentuhan

Sentuhan adalah satu-satunya dari lima indera yang tidak terpengaruh oleh usia. Saat kita menua, indra penciuman menjadi kurang tajam, indra perasa menjadi sulit membedakan, indra pendengaran menurun dan penglihatan memerlukan bantuan, tetapi indra peraba kita tidak berubah. Malah, kebutuhan untuk menyentuh dan disentuh meningkat.

Sesungguhnya manusia terlahir dengan kebutuhan akan sentuhan. Jika bayi dan anak-anak kurang sentuhan maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang kurang peka dan sulit berempati pada orang lain.

Bukan hanya manusia, mamalia lain juga menyukai sentuhan. Ada banyak penelitian ilmiah pada orang utan, simpanse, kucing, atau anjing yang menunjukkan efek yang sangat berbeda antara bayi hewan-hewan itu ketika mereka banyak disentuh dan yang miskin sentuhan.

Diane Ackerman, penulis buku A Natural History of the Senses, menyebutkan peraba adalah indra dengan fungsi dan kualitas yang unik. Sentuhan akan berpengaruh pada seluruh organisme. "Sentuhan lima kali lebih kuat dari kata-kata dan kontak emosional. Tidak ada indra lain yang mudah dibangkitkan selain lewat sentuhan," katanya.

Jika sentuhan dirasa tidak menyenangkan, tidak akan ada spesies. "Seorang ibu tidak akan menyentuh anaknya jika mereka tidak merasa hal itu menyenangkan. Jika kita tidak suka disentuh dan menyentuh, mungkin tidak akan ada seks," kata Saul Schanbergh.

Sebuah penelitian juga menunjukkan sentuhan dari pasangan yang dicintai memiliki kekuatan dua kali lipat dalam melawan stres. Sentuhan dan rasa nyaman yang diciptakan juga meningkatkan imunitas dan mempercepat kesembuhan.

Semakin bertambahnya usia, membuat kebutuhan akan rasa dicintai pun meningkat. Kita perlu belajar memberi sentuhan melalui pelukan, ciuman, atau berpegangan tangan pada orang yang kita cintai karena kebutuhan akan perasaan dicintai dan tidak sendiri merupakan salah satu cara manusia bertahan hidup.

kompas.com

TV Merusak Interaksi Orangtua dan Anak

Beberapa penelitian akhir-akhir ini menunjukkan, menonton TV selama berjam-jam mempunyai efek buruk bagi kesehatan. Namun studi para ilmuwan di Ohio AS mengungkapkan, selain masalah kesehatan, kebiasaan berlama-lama nonton TV pada anak juga bisa mempengaruhi hubungan komunikasi mereka dengan para orang tua.

Penelitian yang diterbitkan dalam Human Communication Research, memperlihatkan bahwa menonton TV dapat menyebabkan berkurangnya interaksi antara orangtua dan anak. Bahkan juga berdampak buruk pada kemampuan menulis, membaca dan bahasa anak.

Studi yang dilakukan oleh Amy Nathanson dan Eric Rasmussen dari Ohio State University, difokuskan untuk melihat 'respon ibu' ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka yang memiliki kebiasaan membaca buku, bermain mainan, dan menonton TV.

Para penulis mengeksplorasi interaksi 73 pasang ibu dan anak. Sebagian para ibu diketahui berusia 30-an dan memiliki gelar sarjana, sementara setengahnya sebagai ibu rumah tangga. Usia anak-anak berkisar antara 16 bulan sampai 6 tahun.

Dalam penelitian tersebut, baik ibu dan anak secara acak diberikan satu dari tiga kegiatan selama sepuluh menit. Setelah itu, orang tua diminta untuk mengisi kuesioner terkait perkembangan bahasa dan kemampuan membaca serta menulis anak mereka.

Hasil penelitian menunjukkan, pada kelompok ibu dan anak yang membaca buku bersama-sama, secara signifikan mempunyai komunikasi yang lebih baik dibandingkan pasangan ibu dan anak yang menonton TV.

Walaupun jumlah komunikasi saat membaca buku tidak secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok ibu dan anak yang mainan alat (mobil-mobilan atau boneka). Namun, kualitas respon ibu lebih tinggi ketika anak-anak mereka membaca buku dan bermain dibandingkan menonton TV.

Para peneliti menemukan bahwa ketika orang tua dan anak membaca sebuah buku, mereka akan menggunakan gaya komunikasi yang lebih aktif, mengarahkan anak untuk mempelajari setiap huruf dan kata, dengan demikian meningkatkan perbendaharaan kosakata mereka dan pengetahuan tata bahasa. Sebaliknya pada kelompok ibu dan anak yang menonton TV, hanya sedikit komunikasi yang terjalin.

"Hal ini penting bagi kita untuk membatasi waktu menonton TV pada anak. Hilangnya komunikasi anak dengan orang tua akan berdampak buruk bagi perkembangan anak. Kami mendorong agar para orang tua mencari hiburan di luar TV," kata peneliti.


kompas.com

Bicara Kacau dan Cepat seperti Bebek

Oleh : Augustine Dwiputri, Psikolog

Saya lelaki berumur 37 tahun, anak tertua dari lima bersaudara. Dalam keluarga, hanya saya saja yang berbicara cenderung cepat sekali. Kadang- kadang malah cepat dan (kata orang ) tidak jelas. Bukan maksud saya untuk berbicara seperti itu, tetapi mulut ini susah dikontrol. Saya sudah pernah melatih diri dengan membaca bersuara dan mengatur tempo. Awalnya kelihatan lancar, tetapi lama-lama suara ini meluncur seperti suara bebek.

Beberapa hari lalu adik saya menelepon saya. Kami berbicara biasa, tetapi lama-lama suara saya jadi cepat. Adik saya lalu mengatakan agar saya mengatur tempo karena ia tidak paham kata-kata saya. Langsung saat itu juga perasaan saya tersinggung. Saya merasa ’ditolak’. Bukan kali ini saja ia berkata seperti itu, tetapi beberapa kali. Bukankah ia dan saya telah hidup ’bersama’ sekian lama tetapi mengapa ia tetap belum bisa menerima kelemahan saya (yang tentu tidak saya ingini)?

Memang, saya tahu kalau saya cenderung bicara cepat, tetapi itu bukan maksud saya membuat bingung orang lain. Saya sungguh malu akan kelemahan saya ini. Saya jarang bicara dengan orang yang belum saya kenal karena kelemahan saya ini. Adakah terapi untuk saya?

Wi – di C ”Cluttering” dan ”Stuttering”

Saudara Wi,

Dari beberapa sumber bacaan yang saya peroleh, tampaknya Anda mengalami apa yang disebut para ahli sebagai cluttering (gangguan irama bicara). Menurut Daly dan Burnett (1999), cluttering (atautachyphemia) merupakan gangguan bicara dan gangguan komunikasi yang ditandai dengan pembicaraan yang sulit dimengerti pendengarnya karena tingkat berbicara yang cepat, irama tidak menentu, sintaks atau tata bahasa yang miskin, dan tampilnya kata-kata atau kelompok kata yang tidak berhubungan dengan kalimat. Untuk istilah dalam bahasa Indonesia nya saya menggunakan kata ’berbicara kacau’.

Orang dengan bicara kacau ini mungkin mengalami rentang perhatian yang pendek, konsentrasi dan organisasi pemikiran yang buruk, ketidakmampuan untuk mendengarkan, dan kurangnya kesadaran bahwa pembicaraannya tidak dimengerti. Bicara kacau kadang-kadang rancu dengan gagap (stuttering), suatu gangguan bicara yang lebih dikenal oleh masyarakat.

William Smith membedakan kedua hal ini dengan menjelaskan bahwa stuttering (gagap) adalah gangguan kelancaran bicara yang berupa adanya pengulangan, perpanjangan, penghentian pada kata dan suku kata tertentu. Sementara cluttering (bicara kacau) adalah gangguan bicara yang ditandai dengan adanya irama yang sangat cepat sehingga terjadi misartikulasi dan pendengarnya sulit mengerti.

Orang yang gagap biasanya mengalami ketidaklancaran pada suara awal, ketika mulai berbicara, kemudian menjadi lebih lancar ke arah akhir ucapannya. Sebaliknya, orang dengan bicara kacau menunjukkan suara paling jelas pada awal ucapan, tetapi kecepatan berbicara makin meningkat dan makin sulit dimengerti menjelang akhir ucapan. Bicara kacau juga ditandai oleh bicara cadel untuk suara’r’ dan ’l’ serta bicara monoton yang mula-mula keras kemudian melemah menjadi gumaman. Hasil penelitian menunjukkan, orang yang bicara kacau banyak juga gagap, dan sering kali bicara kacau ditutupi oleh kegagapan. Pada beberapa individu, bicara kacau muncul setelah ia mampu mengontrol gagapnya atau gagapnya mulai berkurang. Dampak psikologis

Dengan kelainan bicara yang Anda alami, memang wajar bila kemudian berdampak pada kepercayaan diri Anda, menimbulkan rasa malu dan membuat Anda tidak berani bicara dengan orang yang baru Anda kenal. Namun agar tidak berkepanjangan, sebaiknya segeralah mencari penanganan secara serius. Yang penting Anda menyadari dahulu bahwa cara Anda berbicara memang membuat orang lain sulit memahami Anda, sehingga wajar juga jika mereka menjadi jengkel atau kesal dalam berkomunikasi dengan Anda.

Mereka terganggu dengan cara Anda berbicara, bukan dengan diri Anda. Jadi, mereka bukannya tak mau menerima Anda dengan segala kelemahan Anda. Anda dapat memperbaiki cara bicara Anda, sehingga komunikasi menjadi lebih nyaman. Di dunia ini banyak orang terkenal yang dahulunya adalah penderita cluttering, seperti Battaros, Demosthenes, Otto von Bismarck, dan Winston Churchill.

Penanganan

Sebelum mendapatkan penanganan, adalah penting jika seseorang yang diduga berbicara secara kacau ini dapat didiagnosis secara akurat. Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan ahli patologi wicara-bahasa untuk membuat diagnosis terlebih dahulu. Anda dapat pergi ke ahli terapi wicara di klinik atau rumah sakit. Anda akan mendapat latihan/pengajaran mengenai teknik-teknik berbicara secara lebih benar.

Dari informasi yang saya peroleh dari seorang ahli terapi wicara di Jakarta, Anda perlu datang beberapa kali, bisa dengan durasi sekali atau dua kali seminggu untuk menjalani terapi, dengan perkiraan biaya sekitar Rp 100.000,- per kedatangan. Tentunya besarnya biaya bisa berbeda-beda.

Hal yang sangat penting adalah Anda perlu rutin melatih diri sendiri setelah bertemu dengan terapis. Seberapa efektif terapi akan membantu Anda, sangat bergantung pada kesadaran bahwa Anda memang memerlukan penanganan, motivasi diri untuk berubah serta dukungan positif dari keluarga, teman maupun lingkungan sekitar. Bila kita tidak yakin bahwa kita memang punya masalah maka kita jadi kurang peduli tentang kondisi yang kita alami, dan kurang termotivasi untuk berubah atau mengupayakan perbaikan diri.

kompas.com

Memelihara Hewan Menyehatkan Emosi

Secara ilmiah telah terbukti memelihara hewan menguntungkan kesehatan fisik, mengurangi stres, bahkan mendeteksi gangguan penyakit. Beberapa binatang kini juga boleh dibawa pasien yang ingin melakukan tes kesehatan untuk mengurangi rasa takutnya.

Secara umum terdapat tiga manfaat emosional dan sosial dari memiliki hewan-hewan kesayangan.

1. Mudah bergaul

Dalam beberapa dokumentasi penelitian terungkap orang-orang cacat yang menggunakan jasa hewan pelayan tersebut memiliki self-esteem dan secara psikologi lebih baik dibanding orang yang hidup tanpa bantuan.

Orang tuna netra dan anak-anak di kursi roda yang memiliki anjing juga cenderung lebih aktif secara sosial. Pada umumnya para pemilik hewan peliharaan lebih akrab satu sama lain karena memiliki hal serupa untuk diobrolkan, dengan demikian mereka juga lebih mudah berteman.

2. Mengurangi stres

Tidak ada yang bisa mendengarkan semua keluh kesah Anda tanpa syarat dan tanpa menghakimi selain "si doggy" atau "si meong". Bersama mereka kita bisa mencurahkan segala perasaan dengan bebas. Mereka juga memiliki insting yang seolah bisa memahami suasana hati kita sehingga tanpa diminta mereka akan duduk menemani di samping kita.

Penelitian juga menunjukkan anak-anak yang menghadapi kematian orang tercintanya, pasangan yang bercerai, atau mereka yang trauma, lebih rendah risikonya untuk terkena depresi jika mereka memelihara hewan. Bermain dengan hewan kesayangan selama 15 menit telah terbukti meredakan kecemasan dan stres.

3. Membentuk ikatan

Rasa menyayangi yang timbul kepada hewan-hewan lucu peliharaan kita, begitu pun mereka pada tuannya, akan menyebabkan proses biokemikal dan berpengaruh pada otak. Akibatnya hormon-hormon tertentu akan meningkat, terutama yang berkaitan dengan perasaan nyaman, kepuasan, dan kebahagiaan.


kompas.com

Gangguan Kepribadian Antisosial

Kasus yang melibatkan terpidana mati Ryan atau Veri Idham Henyansyah kembali mencuat setelah adanya upaya peninjauan kembali (PK) dari pengacaranya terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan. Ryan Kamis (22/9/2011) kemarin hadir di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat dalam persidangan dengan agenda pembacaan alasan kuasa hukum melakukan peninjauan kembali.

Kata-kata Gangguan Jiwa dan Psikopat kemudian mulai muncul dalam persidangan yang dikemukakan oleh pengacara Ryan. Sayangnya, penggunaan kata Psikopat ini tidak sepenuhnya tepat dalam kerangka diagnosis gangguan jiwa karena istilah tersebut sudah tidak dikenal dalam diagnosis gangguan jiwa.

Beberapa kalangan kesehatan jiwa kemungkinan besar akan menjawab sama bila ditanya tentang apa yang terjadi pada kesehatan jiwa Ryan. Kemungkinan diagnosis yang paling mungkin adalah suatu Gangguan Kepribadian Antisosial yang dulunya lebih dikenal sebagai Psikopat.

Tentunya hal ini merupakan diagnosis banding saja, karena untuk menegakkan diagnosis yang tepat perlu melakukan pemeriksaan yang langsung dan lengkap. Psikiater tidak mungkin mendiagnosis hanya berdasarkan berita di koran saja tanpa melihat pasien secara langsung.

Lalu apakah itu gangguan Kepribadian Antisosial? Gangguan kepribadian antisosial dalam pedoman diagnosis gangguan jiwa menurut DSM IV-TR (keluaran American Psychiatric Association) dan ICD 10 (keluaran Badan Kesehatan Dunia/WHO) merupakan bagian dari Gangguan Jiwa.

Orang yang mengalami gangguan kepribadian tidak menyadari dirinya sakit. Ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, sehingga orang seperti ini tidak akan datang ke pikiater atau psikolog klinis untuk meminta disembuhkan. Ketiadaan tilikan ke dalam diri ini yang membuat gangguan kepribadian memiliki kemungkinan sembuh yang kecil.

Gangguan kepribadian yang banyak dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan kriminalitas adalah gangguan kepribadian antisosial. Kepustakaan mengatakan sekitar 70 persen orang yang dipenjara mengalami gangguan kepribadian tipe ini. Bila mengalami gangguan ini, individu tidak mampu untuk mentaati norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Walaupun banyak dihubungkan dengan tindakan-tindakan kriminal, bukan berarti gangguan ini sama artinya dengan kriminalitas.

Kejadian gangguan kepribadian ini di dalam masyarakat adalah sekitar 3 persen untuk laki-laki dan 1 persen untuk perempuan. Biasanya terjadi di daerah urban yang miskin atau tingkat ekonomi sosialnya rendah. Beberapa perilaku yang sering terjadi pada individu dengan gangguan ini adalah ; berbohong, kekerasan terhadap orang lain, kabur dari rumah, pencurian, berkelahi, penggunaan narkoba dan aktivitas-aktivitas melanggar hukum. Beberapa laporan mengatakan, perilaku tersebut dimulai bahkan saat masa kanak-kanak.

Individu yang mengalami gangguan seperti ini tidak mengalami gangguan kecemasan atau depresi akibat perbuatannya. Penjelasan yang terkadang di luar akal sehat tentang perbuatannya seringkali membuat ahli kesehatan jiwa berpikir apakah ini suatu gangguan skizofrenia. Tetapi dari pemeriksaan mental biasanya tidak pernah ditemukan adanya waham ataupun pikiran-pikiran tidak rasional.

Bahkan, seringkali individu dengan gangguan ini menunjukkan adanya daya pikir yang tinggi dan kemampuan berbicara yang melebihi rata-rata. Untuk itulah, sering ditemukan perilaku yang manipulatif terhadap orang lain. Mereka tidak dapat dipercaya dan hampir tidak pernah berkata benar tentang tindakannya. Kita melihatnya sebagai orang yang tidak punya hati nurani.

Apakah bisa dihukum?

Individu yang mengalami keadaan seperti ini biasanya tidak menyadari bahwa dirinya sakit. Hampir dapat dipastikan ketika gangguan ini berkembang, maka gangguan ini tidak akan mengalami masa perbaikan. Walaupun ada beberapa ahli yang mengatakan akan berkurang menjelang masa dewasa lanjut.

Kebanyakan gangguan kepribadian memang seringkali sulit diobati. Keadaan ini diperparah karena individu yang mengalami gangguan ini tidak punya tilikan atau kesadaran diri bahwa dirinya perlu diobati. Orang di sekitar individu yang akan merasakan dampak yang sangat tidak menyenangkan dari perilaku orang yang mengalami gangguan ini.

Walaupun disebut gangguan jiwa, tapi bukan berarti orang yang mengalami gangguan ini tidak dapat dihukum. Peristiwa yang terjadi pada kasus Ryan akan menempatkan Ryan pada tuntutan hukum yang jelas.

Seperti kita ketahui dulu, semua orang tahu bahwa Ryan melakukan hal tersebut salah satunya juga karena faktor materi. Ini dapat terlihat bahwa harta si korban diambil oleh pelaku. Ryan juga tahu kalau perbuatannya berkonsekuensi hukum sehingga menyembunyikan si korban dengan mengubur atau terakhir memutilasinya.

Dalam buku Psikiatri Forensik, guru saya pakar Psikiatri Forensik, Dr. Wahjadi Darmabrata, SpKJ(K), menyatakan, “Dahulu diagnosis gangguan jiwa dianggap cukup untuk menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan dari tuntutan. Padahal, sebenarnya yang diharapkan adalah kepastian seberapa jauh kemampuan tanggung jawab terdakwa terhadap perbuatannya yang melanggar hukum.

Untuk itulah, pemeriksaan yang mendasar terhadap kasus Ryan perlu dilakukan oleh psikiater forensik yang memahami gangguan kejiwaan dan kriminalitas yang terkait dengan kondisi yang dialami pelaku.

Pemeriksaan yang tepat dan cermat akan membuat hasil pemeriksaan dapat menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memberikan keputusan kepada pelaku yang sering dianggap mengalami gangguan jiwa dan tidak bisa dihukum.

* Psikiater, Pengamat Kesehatan Jiwa


kompas.com

"Penyakit Jiwa" Para Pejabat: Lupa Ingatan

Belakangan ini, menonton berita di televisi, apalagi terkait dengan pemberitaan pejabat di bumi tercinta ini, sering kali membuat kening berkerut. Betapa mudahnya beberapa pejabat mengatakan lupa ketika diperiksa, baik di KPK maupun di persidangan.

Belum lama ini, seorang menteri mengatakan lupa saat diperiksa sebagai saksi di pengadilan saat berurusan dengan kasus korupsi. Lalu beberapa hari kemudian seorang ketua partai besar juga tidak mengakui apa yang pernah dikatakan oleh sang bendahara tentang keterlibatannya dalam suatu perusahaan dan proyek yang ternyata merugikan negara.

Sayangnya, sebenarnya beberapa bukti yang terpampang jelas merujuk pada keterlibatan mereka dalam proses kejadian yang saat ini mereka sangkal dan katakan lupa.

Lupa ingatan itu sakit jiwa

Sebagai seorang psikiater, saya akrab dengan pasien-pasien yang lupa ingatan karena penyakit jiwa yang dinamakan 'demensia'. Yang paling sering datang ke tempat praktik saya adalah pasien dengan demensia alzheimer.

Demensia alzheimer adalah salah satu jenis demensia yang ditandai dengan penurunan secara nyata dari fungsi memori (kesulitan dalam belajar informasi baru dan memanggil informasi yang dipelajari sebelumnya) dan salah satu dari fungsi intelektual (gangguan bahasa, gangguan melakukan aktivitas motorik, kesulitan dalam mengenal benda, gangguan dalam fungsi eksekutif seperti merencanakan, mengorganisasi, pengabstrakkan dan merangkai tindakan).

Keadaan ini mengganggu fungsi pribadi dan sosial individu itu. Meskipun hanya merupakan salah satu dari jenis demensia, angka kejadian alzheimer paling tinggi (lebih dari 50 persen kasus demensia adalah demensia alzheimer). Biasanya demensia atau dikenal dengan penyakit pikun ini diderita oleh pasien yang berusia 60 tahun ke atas walaupun karena beberapa sebab seperti serangan stroke, trauma kepala berat, dan kencing manis yang tidak terkontrol, pasien bisa mengalami gejala-gejala demensia pada usia yang lebih dini. Gejala awal yang paling sering dialami oleh pasien yang mengalami demensia adalah lupa.

Demensia selektif

Lalu apakah yang terjadi pada para pejabat yang sering lupa ingatan terhadap peristiwa terkait tindak korupsi ini bisa dinamakan demensia? Rasanya hal itu memerlukan pemeriksaan yang lebih jauh. Hanya, secara gamblang, kita melihat bahwa apa yang dialami oleh para pejabat ini sepertinya hanya lupa hal-hal tertentu (selektif), bukan lupa semuanya.

Seorang pasien yang mengalami demensia, apalagi tipe alzheimer, memiliki daya pikir yang semakin lama semakin menurun. Pasien sering bahkan sudah mulai lupa tempat tinggalnya di mana atau merasa tempat tinggalnya saat ini bukan rumahnya. Pasien juga bisa lupa dengan anggota keluarganya, bahkan anak-anaknya sendiri.

Jika melihat dari usia, maka para pejabat ini tentunya belum termasuk golongan manusia di atas 60 tahun. Lalu, jika dilihat dari riwayat kesehatan walaupun tentunya tidak pernah dikatakan ke publik, rasanya pejabat-pejabat ini tidak pernah mengalami peristiwa sakit yang berat seperti trauma kepala berat, serangan stroke berdarah yang membuat koma dalam jangka waktu tertentu, atau keracunan zat yang membuat otak menjadi rusak. Artinya secara sepintas dengan mata awam, kita melihat pejabat-pejabat ini baik-baik saja kesehatannya.

"Malingering"


Lalu, kalau demikian, apakah yang dikatakan para pejabat itu masih bisa dipercaya bahwa dirinya lupa? Tentunya, ini merupakan tugas dari para penegak hukum untuk membuktikan apakah benar-benar lupa atau sebaliknya hanya pura-pura lupa. Proses pemeriksaan dan sampai persidangan nanti tentunya diharapkan terdapat suatu proses yang transparan, jujur, adil, dan memperhatikan fakta-fakta yang ada.

Orang bisa seribu kali bilang lupa, tetapi kalau fakta berkata lain, apa yang dikatakannya bisa gugur, atau malah bisa disebut berbohong.

Bicara tentang gangguan jiwa yang sering kali diungkapkan oleh para orang-orang yang terkena atau terlibat kasus-kasus hukum, saya jadi ingat ada suatu terminologi dalam ilmu kedokteran jiwa yang disebut malingering.

Ini merupakan suatu "gangguan jiwa pura-pura" ketika seseorang berusaha menampilkan dirinya dengan gejala-gejala gangguan jiwa agar terhindar dari proses hukum atau pengadilan. Malingeringmemang bukan diagnosis gangguan jiwa, tetapi memang sepertinya banyak dialami oleh para maling. Salam Sehat Jiwa.

* Psikiater, Pengamat Kesehatan Jiwa


kompas.com