Kamis, 20 Mei 2010

Meningkatkan Memori Anak dengan Gangguan Belajar Jumat, 26 Desember 2008

Anak yang memiliki kelainan mental lebih (supernormal) disebut juga anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi 1) anak yang mampu belajar dengan cepat (rapid learner) 2) anak berbakat (gifted) dan 3) anak gejius (extremely gifted).[2]
Kategori anak yang termasuk dalam kelompok belajar dengan cepat jika indeks hasil tes kecerdasannya berada pada rentang 110 – 120. Anak dikategorikan berbakat jika indeks hasil tes kecerdasannya berada pada rentang 120 – 140, sementara anak dengan kategori sangat berbakat (genius) jika indeks hasil tes kecerdasannya di atas 140.[3]
Sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, anak tuna grahita dapat diklasifikasikan menjadi
1. anak tunagrahita yang memiliki kemampuan untuk dididik, yaitu yang memiliki kecerdasan (IQ) antara 50 – 75
2. anak tunagrahita yang memiliki kemampuan untuk dilatih, yaitu yang memiliki kecerdasan (IQ) antara 25 – 50
3. anak tunagrahita yang memiliki kemampuan untuk dirawat, yaitu yang memiliki kecerdasan (IQ) di bawah 25.[4]
Type anak dengan kategori tuna grahita inipun berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan menunjukkan pola yang tidak tetap. Ada yang cenderung pendiam dan menutup diri, ada yang terlalu aktif dan ceria dan ada pula yang terkesan seperti orang normal lainnya. Namun garis persamaan antara mereka terletak pada ketidakmampuan menerima pelajaran di sekolah, bahkan tidak mampu membaca walaupun telah bersekolah di sekolah normal selama 6 tahun, sehingga jika mereka bersekolah di sekolah normal biasanya kepala sekolah meminta orangtua mereka untuk memindahkannya ke sekolah luar biasa.
Berbeda halnya dengan anak-anak tuna grahita yang dari segi pisik kadang norma, akan tetapi memiliki hambatan dalam retaining (menyimpan setiap memori yang masuk, sehingga akan sulit sekali bagi mereka untuk merecall apa yang pernah mereka pelajari.
Pada dasarnya anak tuna grahita seperti ini masih memiliki memori, terutama memori imaji yang berasal dari indera, karena pada umumnya anak-anak tuna grahita ini memiliki penginderaan yang sempurna. Kekurangan mereka terletak pada ketidakmampuan mereka dalam menyimpan, apa lagi merecall informasi yang dimasukkan ke dalam memori mereka. Boleh dikatakan kebanyakan memori yang mereka miliki adalah memori jangka pendek (short term memory), sementara memori jangka panjang (longterm memory) yang mereka miliki hanya sedikit, sehingga terkesan mereka tidak mampu belajar sama sekali.
Dari pra penelitian yang peneliti lakukan dengan mewawancarai orangtua salah seorang anak yang kesehariannya senang berbicara sendiri seakan ada teman (imajiner) di dekatnya, terungkap bahwa pada dasarnya anak tersebut memiliki daya ingat pada beberapa objek yang pernah dibicarakan orangtuanya di rumah.
Berdasarkan hal ini penulis ingin berupaya untuk dapat menemukan metode yang tepat untuk dapat meningkatkan memori anak dengan gangguan belajar (tuna grahita) ini. Dalam hal ini penulis tertarik dengan permainan puzzle, karena permainan ini mengandalkan indera penglihatan (visual) dan keterampilan tangan, sekaligus memiliki efek edukasi yang sangat baik.
Dari permasaahan di atas penulis ingin melihat bagaimana reaksi dan sikap siswa dengan gangguan belajar (tuna grahita) terhadap permainan puzzle, dan bagaimana efek permainan puzzle terhadap daya ingat (memory) siswa dengan gangguan belajar (tuna grahita).

Memori pada Siswa Tuna Grahita
Memori dapat diartikan sebagai kombinasi imajinasi dan sensus communis (indera bersama). Ada imaji terhadap sesuatu ditambah kesadaran terhadap masa lampau. Imajinasi juga menyediakan hubungan antara pengetahuan dan perbuatan karena keinginan mensyaratkan imajinasi akhir yang dicapai, yang mungkin disengaja jika dipengaruhi oleh akal. Keinginan tergantung pada sensasi dan pikir.[5]
Bower dan Hilgard memberi arti memori sebagai “Memory is the faculty of retaining and recalling past experience, or the ability to remembering is defined as recalling an experience to mind or thingking of it again.”[6]
Drever mengemukakan memori (ingatan) sebagai berikut :
“Memory in the abstract and most general sense, that characteristic of living organisms, in virtue of which what they experience leaves behind effects which modify future experiences and behaviour, in virtue of which they have a history, and that history is recorded in themselves; than characteristic which underlines all learning, the essential feature of which is retention; in narraw sense it covers recall and recognition –what we call remembering- but there may be learning without remembering”.[7]
Penelitian terhadap memori telah banyak dilakukan, dan orang pertama yang disinyalir melakukan penelitian terhadap memori adalah Hermann Ebbinghaus (1850-1909 M). dia melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri sebagai subjek penelitian. Penelitian dilakukan dengan menghafal suku kata-suku kata yang telah disusunnya sedemikian rupa sampai ia mampu mengingat kembali suku kata tersebut, dan kemudian dicatat berapa lama waktu yang digunakan untuk proses tersebut.[8]
Pada anak dengan gangguan belajar (tuna grahita), fungsi memori terhenti pada fungsi learning (mencamkan, memasukkan) saja, tidak dilanjutkan pada fungsi yang lain, sehingga apa yang dipelajari tersebut sama sekali tidak bisa tinggal lama dalam memori. Memori yang mereka miliki cenderung berbentuk memori jangka pendek (shortterm memory) yang akan hilang beberapa menit bahkan detik berikutnya. Penulis pernah mencoba mengajar salah seorang anak yang memiliki gangguan belajar yang telah berusia 16 tahun dan pernah sekolah beberapa tahun lamanya di sekolah normal, dengan cara memintanya mengulang-ulang menyebutkan kata yang sama sebanyak 100 kali, sampai penulis yakin bahwa anak tersebut telah mengenai bunyi kata yang dia baca, dan ternyata waktu diuji, dia mampu menyebutkannya, lalu penulis pindah ke kata yang lain, dan tidak lama kemudian penulis menanyakan kepadanya bunyi kata sebelumnya, dan ternyata dia sama sekali tidak mengingatnya.
Memori sering dihubungkan dengan lupa, yaitu keadaan tidak mampunya individu mengingat kembali suatu objek yang telah dipelajari sebelumnya. Sehubungan dengan ini ada 2 teori tentang kelupaan yang bersumber dari interval ini, yaitu :
Teori atropi
Teori ini menitik beratkan pada lama interval. Menurut teori ini kelupaan terjadi karena jejak-jejak ingatan (trace of memory) telah lama tidak ditimbulkan kembali dalam alam kesadaran.
Teori interferensi
Teori ini menitikberatkan pada isi interval. Menurut teori ini kelupaan terjadi karena jejak-jejak memori saling bercampur aduk dan mengganggu satu sama lain.[9]
Anak dengan gangguan belajar yang disebabkan karena masalah mental sering pula disebut anak berkesulitan belajar atau anak yang memiliki mental retardatrion atau mental deficiency. Pengertian ini berhubungan erat dengan inteligensi yang mencakup 3 hal, yaitu :
1. Fungsi intelektual di bawah rata-rata
2. Terganggu dalam penyesuaian sosial dan
3. Mengikuti periode perkembangan tertentu[10]
Dalam arti luas inteligensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai prestasi-prestasi yang di dalamnya berpikir main peranan. Dalam arti sempit dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai prestasi-prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir main peranan. Inteligensi dalam arti sempit ini diesbut juga kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.[11] Inteligensi sangat erat kaitannya dengan mental age (MA) yaitu kemampuan mental yang dimiliki oleh seseorang pada waktu tertentu.[12]
Pada anak tuna grahita usia nyata tidak sesuai dengan usia mental, di mana meskipun dari segi usia anak sudah mencapai tahun ke 14 belas, namun dari segi mental anak masih berada setingkat dengan anak usia Taman Kanak-Kanak yaitu berkisar antara 4 – 6 tahun, sehingga akan sangat sulit untuk menghapkan anak tersebut bisa hidup mandiri di usia tersebut. Anak dengan kondisi tuna grahita seperti ini seringkali tidak mampu mengurus diri mereka sendiri sesuai dengan usia nyata mereka.
Anak berkesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori, yaitu berdasarkan berat ringannya kondisi anak, harapan pendidikan dan derajat IQ. Berdasarkan berat ringanya kondisi mental anak tuna grahita dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu ringan (mild), sedang (moderate), berat (severe) dan sangat berat (profound). Berdasarkan harapan pendidikan anak tuna grahita dibedakan menjadi mampu didik (educable), mampu latih (trainable), dan mampu rawat (cutodial). Berdasarkan derajat IQ maka interval IQ dibedakan kepada ringan (IQ 55 – 70), sedang (IQ 40 -55), berat (IQ 25 – 40) dan sangat berat (IQ di bawah 25).[13]
David Smith mengemukakan klasifikasi yang sedikit berbeda, yaitu kelompok (slow leaner), atau anak yang lambat belajar, yaitu anak yang tidak dapat belajar dengan baik di sekolah, disebabkan sekor IQ yang rendah; anak yang kurang berkembang di sekolah karena ketidakstabilan emosi (emotional disturbance); dan anak yang tidak mendapatkan kemajuan memuaskan di sekolah, yaitu anak yang tidak termotivasi.[14]
Telford dan Sawrey sebagaimana yang diungkapkan Saifuddin Azwar mengemukakan beberapa kriteria dalam identifikasi retardasi mental, yaitu :
1. Kriteria prilaku adaptif. Ketidaktercapaian prilaku adaptif dapat dilihat dari keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada masa kanak-kanak, seperti kecakapan indera gerak (meneloeh, merangkak, berjalan danmenggerakkan kaki), kemampuan berkomunikasi (senyum sosial, berbicara, memberi isyarat), kecakapan menolong diri sendiri (makan, berpakaian, mandi, ke kamar kecil), dan sosialisasi (bermain secara imitatrif, bermain bersama orang lain). Pada masa remaja dapat dilihat dari kemampuan belajar di sekolah, kemampuan penalaran dan penilaian terhadap lingkungan, kecakapan-kecakapan sosial.
2. Kriteria kemampuan belajar yang menunjuk pada ketidakmampuan individu mencerap apa yang diajarkan di sekolah bukan karena kemalasan, atau cacatnya indera gerak, akan tetapi karena keterbatasan yang dimiliki individu tersebut.
3. Kriteria penyesuaian sosial terlihat dari ketidakmampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan, seperti tidak mampu berbelanja atau menghitung uang, mudah tersesat bila bepergian dan berbagai perilaku lain yang dianggap menyimpang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar