Kamis, 20 Mei 2010

Dinamika Pengasuhan Orangtua Tuna Rungu Yang Memilik Anak Berpendengaran Normal

Selayaknya manusia yang lain, orang tuna rungu juga akan melalui fase perkembangan hidupnya sebagai orangtua. Sekitar 90% orang tuna rungu memilih pasangan yang juga tuna rungu dan sekitar 90% mereka memiliki anak-anak dengan kemampuan pendengaran yang normal (Mallory, Zingle, dan Schein, 1993 dalam Burke, 1994: 4).

Pengasuhan anak oleh orangtua yang tuna rungu memang membutuhkan suatu pemahaman dan situasi-situasi yang khusus bila dibandingkan dengan orangtua pada umumnya. Mereka perlu memikirkan strategi atau cara-cara khusus dalam mengasuh dan merawat anak-anak mereka.

Perbedaan kondisi kemampuan pendengaran antara orangtua dan anak rentan untuk memunculkan kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan dalam penyampaian maksud dan keinginan. Orangtua yang tuna rungu tentu perlu menyesuaikan keterbatasan dirinya dengan tanggung jawab mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak baik kebutuhan materi, fisiologis, psikologis maupun kebutuhan untuk membangun relasi sosial. Penelitian Mallory, Schein dan Zingle (1992, dalam Singleton, 2000: 226), mengenai persepsi dan performace orangtua tuna rungu dalam mengasuh anak, menghasilkan bahwa orangtua tuna rungu sebenarnya memiliki pandangan yang positif mengenai efektivitas pengasuhan dalam keluarga mereka.

Namun sayangnya penelitian maupun literature mengenai orangtua tuna rungu memang masih jarang ditemukan. Padahal menurut Western Pennsylvania School for The Deaf (1992: 13). sebenarnya masih banyak orangtua tuna rungu yang ingin mengetahui informasi mengenai pengasuhan anak seperti informasi mengenai bagaimana anak-anak mereka seharusnya berperilaku, bagaimana membuat dan menjaga peraturan dengan adil di dalam rumah, bagaimana mengajarkan pengambilan keputusan pada anak serta bagaimana mengajarkan sikap yang positif terhadap tugas-tugas sekolah.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian studi kasus intrinsik dengan pendekatan interpretif Penggalian data dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. Sementara metode analisa data dilakukan dengan menggunakan analisis tematik. Hasil analisa tema selanjutnya dipaparkan secara deskriptif pada setiap kasus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan anak pada masing-masing orangtua dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang berbeda antara satu dengan yang lain. Secara umum faktor-faktor tersebut berkaitan dengan faktor dari dalam dan faktor dan luar orangtua. Sementara pengasuhan yang nampak secara umum meliputi pengasuhan secara fisik, keterampilan dasar, penanaman nilai normatif, spiritual dan akademis.

By: HANDARIYATI, RATIH

ABD, Membantu Anak Tunarungu Hidup Normal

TIDAK semua anak terlahir sempurna, beberapa di antara mereka, ada yang terlahir dengan kekurangan. Salah satu kekurangan tersebut adalah gangguan dalam pendengaran.

Di Indonesia, tanpa disadari kasus pendengaran gangguan cukup memprihatinkan. "Menurut data yang didapat dari Departemen Kesehatan 1,5 persen dari masyarakat Indonesia terlahir tunarungu," papar ketua FNKTRI (Federasi Nasional untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) Drs Totok Bintoro saat ditemui di Gedung Optik Malewai, Salemba, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Melihat kondisi yang cukup memprihatinkan itu, Pusat Alat Bantu Dengar Melawai (PADB Melawai) mendonasikan 100 buah Alat Bantu Dengar (ADB) bagi masyarakat Indonesia, khususnya untuk anak-anak.

Donasi ini pula diberikan dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 2009 serta menyambut HUT RI ke 64. Sebanyak 80 orang mendapatkan ABD di antaranya mereka yang berusia 4-18 tahun, sedangkan 20 orang lainnya adalah orang dewasa yang berusia 20-50 tahun yang aktif bekerja, namun masih kurang mampu membeli ABD.

"Dasar pertimbangan untuk memberikan bantuan terutama kepada anak-anak usia sekolah karena ABD sangat dibutuhkan mereka dalam proses kegiatan belajar. Seperti yang kita ketahui, pengembangan bahasa sangat diperlukan agar mereka mampu berprestasi seperti anak-anak normal. Sehingga mereka pun dapat mengembangkan seluruh potensi akedemik, disamping tentunya kemampuan lainnya seperti kemampuan bersosialisasi," tutur Direktur Pusat Alat Bantu Dengar Melawai Priscilla R.K Bahana.

ADB memang perlu segera diberikan pada mereka yang membutuhkan, karena jika gangguan pendengaran itu dibiarkan saja, bisa memacu anak jadi bisu.

"Jika insan-insan tunarungu ini tidak mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi dengan tepat dan semestinya seperti pemeriksaan pendengaran yang tepat dengan mengembangkan kemampuan bahasa oral aural dengan baik, mereka akan tetap menjadi manusia bisu," ungkap Audiologist dan pakar pendidikan anak tunarungu dari PABD Melawai Drs Anton Subarto, Dipl Aud.

Senada dengan Anton, Drs Totok Bintoro mengimbau agar kaum tunarungu mendapat perlakukan yang sama seperti manusia normal lainnya.

"Harapannya menghimbau pada lembaga-lemabag agar semakin terpanggil, karena tunarungu tidak identik dengan bisu. Dan kepada orang tua jangan putus asa, tapi dampingi anak dengan penuh kasih sayang. Untuk masyarakat umum, jangan posisikan tunarungu di tempat yang berbeda dari orang normal. Jadi tidak perlu malu mengenakan Alat Bantu Dengar," imbuhnya.

ADB yang sedianya berfungsi membantu pendengaran seseorang agar lebih baik, tak bisa dipinjamkan kepada orang lain. Pasalnya, setiap ADB diberikan kepada setiap orang yang butuh berdasarkan tingkat ketuliannya.

"Alat Bantu Dengar ini tidak bisa dipinjamkan karena hal ini berkaitan erat dengan tingkat ketulian anak, baik itu sedang, berat atau tuli, karena belum tentu cocok. ABD ini digaransi 1 tahun dan bisa diperbaiki di pusat ABD Melawai," ucap Anton.

Donasi 100 ABD ini dilakukan secara efektif dimulai dari serangkaian pemeriksaan audiologi atau pendengaran untuk menentukan ABD yang cocok bagi para tunarungu. Setelah itu, dilakukan proses pencetakan yang disesuaikan agar mereka nyaman saat mengenakan ABD. Lalu, pemasangan di daun telinga.

"Semoga kegiatan ini dapat terus kami lakukan setiap tahun sebagai upaya berpartisipasi dalam usaha memajukan dan mencerdaskan bangsa Indonesia," harap Priscilla mengakhiri pembicaraan.

Sabtu, 8 Agustus 2009 - 08:45 wib
text TEXT SIZE :
Share
Dewi Arta - Okezone

Meningkatkan Memori Anak dengan Gangguan Belajar Jumat, 26 Desember 2008

Anak yang memiliki kelainan mental lebih (supernormal) disebut juga anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi 1) anak yang mampu belajar dengan cepat (rapid learner) 2) anak berbakat (gifted) dan 3) anak gejius (extremely gifted).[2]
Kategori anak yang termasuk dalam kelompok belajar dengan cepat jika indeks hasil tes kecerdasannya berada pada rentang 110 – 120. Anak dikategorikan berbakat jika indeks hasil tes kecerdasannya berada pada rentang 120 – 140, sementara anak dengan kategori sangat berbakat (genius) jika indeks hasil tes kecerdasannya di atas 140.[3]
Sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, anak tuna grahita dapat diklasifikasikan menjadi
1. anak tunagrahita yang memiliki kemampuan untuk dididik, yaitu yang memiliki kecerdasan (IQ) antara 50 – 75
2. anak tunagrahita yang memiliki kemampuan untuk dilatih, yaitu yang memiliki kecerdasan (IQ) antara 25 – 50
3. anak tunagrahita yang memiliki kemampuan untuk dirawat, yaitu yang memiliki kecerdasan (IQ) di bawah 25.[4]
Type anak dengan kategori tuna grahita inipun berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan menunjukkan pola yang tidak tetap. Ada yang cenderung pendiam dan menutup diri, ada yang terlalu aktif dan ceria dan ada pula yang terkesan seperti orang normal lainnya. Namun garis persamaan antara mereka terletak pada ketidakmampuan menerima pelajaran di sekolah, bahkan tidak mampu membaca walaupun telah bersekolah di sekolah normal selama 6 tahun, sehingga jika mereka bersekolah di sekolah normal biasanya kepala sekolah meminta orangtua mereka untuk memindahkannya ke sekolah luar biasa.
Berbeda halnya dengan anak-anak tuna grahita yang dari segi pisik kadang norma, akan tetapi memiliki hambatan dalam retaining (menyimpan setiap memori yang masuk, sehingga akan sulit sekali bagi mereka untuk merecall apa yang pernah mereka pelajari.
Pada dasarnya anak tuna grahita seperti ini masih memiliki memori, terutama memori imaji yang berasal dari indera, karena pada umumnya anak-anak tuna grahita ini memiliki penginderaan yang sempurna. Kekurangan mereka terletak pada ketidakmampuan mereka dalam menyimpan, apa lagi merecall informasi yang dimasukkan ke dalam memori mereka. Boleh dikatakan kebanyakan memori yang mereka miliki adalah memori jangka pendek (short term memory), sementara memori jangka panjang (longterm memory) yang mereka miliki hanya sedikit, sehingga terkesan mereka tidak mampu belajar sama sekali.
Dari pra penelitian yang peneliti lakukan dengan mewawancarai orangtua salah seorang anak yang kesehariannya senang berbicara sendiri seakan ada teman (imajiner) di dekatnya, terungkap bahwa pada dasarnya anak tersebut memiliki daya ingat pada beberapa objek yang pernah dibicarakan orangtuanya di rumah.
Berdasarkan hal ini penulis ingin berupaya untuk dapat menemukan metode yang tepat untuk dapat meningkatkan memori anak dengan gangguan belajar (tuna grahita) ini. Dalam hal ini penulis tertarik dengan permainan puzzle, karena permainan ini mengandalkan indera penglihatan (visual) dan keterampilan tangan, sekaligus memiliki efek edukasi yang sangat baik.
Dari permasaahan di atas penulis ingin melihat bagaimana reaksi dan sikap siswa dengan gangguan belajar (tuna grahita) terhadap permainan puzzle, dan bagaimana efek permainan puzzle terhadap daya ingat (memory) siswa dengan gangguan belajar (tuna grahita).

Memori pada Siswa Tuna Grahita
Memori dapat diartikan sebagai kombinasi imajinasi dan sensus communis (indera bersama). Ada imaji terhadap sesuatu ditambah kesadaran terhadap masa lampau. Imajinasi juga menyediakan hubungan antara pengetahuan dan perbuatan karena keinginan mensyaratkan imajinasi akhir yang dicapai, yang mungkin disengaja jika dipengaruhi oleh akal. Keinginan tergantung pada sensasi dan pikir.[5]
Bower dan Hilgard memberi arti memori sebagai “Memory is the faculty of retaining and recalling past experience, or the ability to remembering is defined as recalling an experience to mind or thingking of it again.”[6]
Drever mengemukakan memori (ingatan) sebagai berikut :
“Memory in the abstract and most general sense, that characteristic of living organisms, in virtue of which what they experience leaves behind effects which modify future experiences and behaviour, in virtue of which they have a history, and that history is recorded in themselves; than characteristic which underlines all learning, the essential feature of which is retention; in narraw sense it covers recall and recognition –what we call remembering- but there may be learning without remembering”.[7]
Penelitian terhadap memori telah banyak dilakukan, dan orang pertama yang disinyalir melakukan penelitian terhadap memori adalah Hermann Ebbinghaus (1850-1909 M). dia melakukan eksperimen terhadap dirinya sendiri sebagai subjek penelitian. Penelitian dilakukan dengan menghafal suku kata-suku kata yang telah disusunnya sedemikian rupa sampai ia mampu mengingat kembali suku kata tersebut, dan kemudian dicatat berapa lama waktu yang digunakan untuk proses tersebut.[8]
Pada anak dengan gangguan belajar (tuna grahita), fungsi memori terhenti pada fungsi learning (mencamkan, memasukkan) saja, tidak dilanjutkan pada fungsi yang lain, sehingga apa yang dipelajari tersebut sama sekali tidak bisa tinggal lama dalam memori. Memori yang mereka miliki cenderung berbentuk memori jangka pendek (shortterm memory) yang akan hilang beberapa menit bahkan detik berikutnya. Penulis pernah mencoba mengajar salah seorang anak yang memiliki gangguan belajar yang telah berusia 16 tahun dan pernah sekolah beberapa tahun lamanya di sekolah normal, dengan cara memintanya mengulang-ulang menyebutkan kata yang sama sebanyak 100 kali, sampai penulis yakin bahwa anak tersebut telah mengenai bunyi kata yang dia baca, dan ternyata waktu diuji, dia mampu menyebutkannya, lalu penulis pindah ke kata yang lain, dan tidak lama kemudian penulis menanyakan kepadanya bunyi kata sebelumnya, dan ternyata dia sama sekali tidak mengingatnya.
Memori sering dihubungkan dengan lupa, yaitu keadaan tidak mampunya individu mengingat kembali suatu objek yang telah dipelajari sebelumnya. Sehubungan dengan ini ada 2 teori tentang kelupaan yang bersumber dari interval ini, yaitu :
Teori atropi
Teori ini menitik beratkan pada lama interval. Menurut teori ini kelupaan terjadi karena jejak-jejak ingatan (trace of memory) telah lama tidak ditimbulkan kembali dalam alam kesadaran.
Teori interferensi
Teori ini menitikberatkan pada isi interval. Menurut teori ini kelupaan terjadi karena jejak-jejak memori saling bercampur aduk dan mengganggu satu sama lain.[9]
Anak dengan gangguan belajar yang disebabkan karena masalah mental sering pula disebut anak berkesulitan belajar atau anak yang memiliki mental retardatrion atau mental deficiency. Pengertian ini berhubungan erat dengan inteligensi yang mencakup 3 hal, yaitu :
1. Fungsi intelektual di bawah rata-rata
2. Terganggu dalam penyesuaian sosial dan
3. Mengikuti periode perkembangan tertentu[10]
Dalam arti luas inteligensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai prestasi-prestasi yang di dalamnya berpikir main peranan. Dalam arti sempit dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencapai prestasi-prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir main peranan. Inteligensi dalam arti sempit ini diesbut juga kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.[11] Inteligensi sangat erat kaitannya dengan mental age (MA) yaitu kemampuan mental yang dimiliki oleh seseorang pada waktu tertentu.[12]
Pada anak tuna grahita usia nyata tidak sesuai dengan usia mental, di mana meskipun dari segi usia anak sudah mencapai tahun ke 14 belas, namun dari segi mental anak masih berada setingkat dengan anak usia Taman Kanak-Kanak yaitu berkisar antara 4 – 6 tahun, sehingga akan sangat sulit untuk menghapkan anak tersebut bisa hidup mandiri di usia tersebut. Anak dengan kondisi tuna grahita seperti ini seringkali tidak mampu mengurus diri mereka sendiri sesuai dengan usia nyata mereka.
Anak berkesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kategori, yaitu berdasarkan berat ringannya kondisi anak, harapan pendidikan dan derajat IQ. Berdasarkan berat ringanya kondisi mental anak tuna grahita dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu ringan (mild), sedang (moderate), berat (severe) dan sangat berat (profound). Berdasarkan harapan pendidikan anak tuna grahita dibedakan menjadi mampu didik (educable), mampu latih (trainable), dan mampu rawat (cutodial). Berdasarkan derajat IQ maka interval IQ dibedakan kepada ringan (IQ 55 – 70), sedang (IQ 40 -55), berat (IQ 25 – 40) dan sangat berat (IQ di bawah 25).[13]
David Smith mengemukakan klasifikasi yang sedikit berbeda, yaitu kelompok (slow leaner), atau anak yang lambat belajar, yaitu anak yang tidak dapat belajar dengan baik di sekolah, disebabkan sekor IQ yang rendah; anak yang kurang berkembang di sekolah karena ketidakstabilan emosi (emotional disturbance); dan anak yang tidak mendapatkan kemajuan memuaskan di sekolah, yaitu anak yang tidak termotivasi.[14]
Telford dan Sawrey sebagaimana yang diungkapkan Saifuddin Azwar mengemukakan beberapa kriteria dalam identifikasi retardasi mental, yaitu :
1. Kriteria prilaku adaptif. Ketidaktercapaian prilaku adaptif dapat dilihat dari keterbatasan-keterbatasan yang terdapat pada masa kanak-kanak, seperti kecakapan indera gerak (meneloeh, merangkak, berjalan danmenggerakkan kaki), kemampuan berkomunikasi (senyum sosial, berbicara, memberi isyarat), kecakapan menolong diri sendiri (makan, berpakaian, mandi, ke kamar kecil), dan sosialisasi (bermain secara imitatrif, bermain bersama orang lain). Pada masa remaja dapat dilihat dari kemampuan belajar di sekolah, kemampuan penalaran dan penilaian terhadap lingkungan, kecakapan-kecakapan sosial.
2. Kriteria kemampuan belajar yang menunjuk pada ketidakmampuan individu mencerap apa yang diajarkan di sekolah bukan karena kemalasan, atau cacatnya indera gerak, akan tetapi karena keterbatasan yang dimiliki individu tersebut.
3. Kriteria penyesuaian sosial terlihat dari ketidakmampuan individu menyesuaikan diri dengan lingkungan, seperti tidak mampu berbelanja atau menghitung uang, mudah tersesat bila bepergian dan berbagai perilaku lain yang dianggap menyimpang.

ANAK LUAR BIASA TUNA DAKSA PERLU PERHATIAN LEBIH 31 July 2006

Semua anak, baik ‘normal’ maupun ‘tuna’ (berkelainan) memiliki kesempatan sama didalam hal pendidikan dan pengajaran. Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan dalam kondisi fisik dan psikhisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kehidupannya.

Anak luar biasa diasumsikan berkaitan dengan kondisi jasmani maupun rohani yang berkelainan dibanding anak normal. Oleh karena itu anak digolongkan luar biasa apabila anak itu tidak masuk pada kategori sebagai anak normal baik fisik, mental maupun intelegensianya.

Untuk pendidikan luar biasa atau khusus seringkali disatukan atau terpadu, karena pada dasarnya sekolah luar biasa atau sekolah khusus bukan merupakan upaya untuk memisahkan pendidikan ‘anak-anak tuna’ dari anak-anak normal.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disusun berdasarkan visi terwujudnya pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara atau masyarakat Indonesia berubah dan berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif mengisi kemerdekaan dan menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dalam pasal 15 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, secara jelas dinyatakan bahwa : ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan misalnya tuna netra, tuna rungu, tuna daksa atau peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Penyelenggaraan pendidikan khusus dilaksanakan secara berkelompok (inklusif) atau berupa ‘satuan’ khusus pada tingkat dasar dan menengah.”

Penyelenggaraan pendidikan juga menganut upaya pemberdayaan semua komponen masyarakat dalam arti bahwa pendidikan diselenggarakan oleh Pemerintah, lembaga sosial maupun masyarakat dalam suasana kemitraan dan kerjasama yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Oleh karena itu diberbagai daerah tumbuh dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi yang dibidani berbagai elemen masyarakat, misalnya yayasan. Bahkan sekarang menjamur tumbuhnya sekolah-sekolah yang meng-adopsi pola belajar ala negara-negara barat (asing), pendidikan anak terlantar dan kaum miskin (pengemis) atau yang lebih beken dikenal dengan sebutan ‘gepeng’ (gelandangan dan pengemis) dan sebagainya.

Pendidikan khusus yang ada di Indonesia sebagian besar dimonopoli oleh Sekolah Anak Luar Biasa (SLB) bagian C. Sebenarnya SLB digolongkan menjadi 5 (lima) jenis pendidikan, yaitu: SLB bagian A diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan pada penglihatan atau tuna netra; SLB bagian B diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan pada pendengaran dan kadang-kadang bicara atau tuna rungu dan tuna wicara; SLB bagian C diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan mental atau tuna grahita; SLB bagian D diperuntukkan bagi siswa yang memiliki ketunaan tubuh atau cacat tubuh atau tuna daksa; dan SLB bagian E diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kelainan tingkah laku atau hiperaktif. Terdapat pula golongan yang diidentifikasi sebagai ketunaan ganda atau anak yang memiliki kelainan ganda dan tuna laras yang biasanya masuk dalam kelompok SLB C dan atau D.

Permasalahan mendasar bagi anak-anak luar biasa, biasanya ditunjukkan dengan perilakunya ketika melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak normal pada umumnya. Contoh, ketika bergaul mereka menghadapi sejumlah kesulitan baik dalam kegiatan fisik, psikologis maupun sosial.

Dari beberapa kajian yang telah dilakukan terhadap isolasi sosial anak menunjukkan anak sering menjadi kaku, mudah marah dan bila dihubungkan dengan perilakunya menunjukkan seakan bukan pemaaf dan tidak mempunyai rasa sensitif terhadap orang lain. Hal lain menunjukkan bahwa anak-anak seperti itu mempunyai kesulitan mendasar dalam hal sosialisasi dan bahkan komunikasi.

Sifat-sifat seperti itu merupakan rintangan utama dalam melakukan kepuasan hubungan interpersonal bagi anak-anak luar biasa. Ketersendirian sebagai akibat rasa rendah diri merupakan tantangan dalam melakukan sosialisasi dan penerimaan diri akan kelainan yang dimilikinya.

PENGERTIAN TUNA DAKSA

Anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak selamanya memiliki keterbelakangan mental. Ada yang mempunyai kemampuan daya pikir lebih tinggi dibandingkan anak normal. Bahkan tidak jarang kelainan yang dialami seorang anak tuna daksa tidak mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan fisik serta kepribadiannya. Demikian pula ada diantara anak tuna daksa hanya mrngalami sedikit hambatan sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan sebagaimana anak normal lainnya.

Secara umum perbedaan antara anak tuna daksa dengan anak normal terutama terdapat dalam tingkat kemampuannya. Namun hal ini juga sangat tergantung dari berat ringannya ketunaan yang mereka sandang.

Dengan adanya ketunaan dalam diri seseorang seringkali eksistensinya sebagai manusia ‘terganggu’. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak maka dibutuhkan keterampilam sesuai dengan kemampuan dirinya. Oleh karena itu orang-orang yang terlibat didalam pendidikan bagi ‘anak luar biasa’ harus mempunyai keterampilan dalam mengungkapkan dalam kebutuhan-kebutuhan personal psikologis yang dibutuhkan anak luar biasa. Layanan bimbingan dan konseling sangat diperlukan bagi anak luar biasa.

Tarmansyah mendefinisikan ”Tuna daksa adalah istilah lain dari tuna fisik; yang dimaksud disini adalah berbagai jenis gangguan fungsi fisik, yang berhubungan dengan kemampuan motorik dan beberapa gejala penyerta yang mengakibatkan seseorang mengalami hambatan dalam mengikuti pendidikan normal, serta dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Anak tuna daksa ini mudah diketahui karena ketunaannya tampak secara jelas”.

Sementara, Slamet Riadi Dkk, mendefinisikan ”Istilah lain dari tuna daksa adalah kelainan tubuh, cacat tubuh, cripple. Masing-masing ahli memilih istilah yang disukai dengan alasan sendiri-sendiri”.

Adapun beberapa macam kelompok tuna daksa, diidentifikasi oleh Djadja Rahardja sebagai berikut : a) Tuna daksa murni, golongan ini umumnya tidak mengalami gangguan mental atau kecerdasan, seperti poliomylitis serta cacat ortopedis lainnya, dan b) Tuna daksa kombinasi, golongan ini masih ada yang normal namun kebanyakan mengalami gangguan mental, seperti anak cerebral palsy.

Namun terdapat pula yang berpendapat bahwa tuna daksa dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : a) Tuna daksa taraf ringan, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna daksa murni dan tuna daksa kombinasi ringan. Tuna daksa jenis ini pada umumnya hanya mengalami sedikit gangguan mental dan kecerdasannya cenderung normal. Kelompok ini lebih banyak disebabkan adanya kelainan anggota tubuh saja, seperti lumpuh , anggota tubuh berkurang (buntung) dan cacat fisik lainnya; b) Tuna daksa taraf sedang, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cacat bawaan, cerebral palsy ringan dan polio ringan. Kelompok ini banyak dialami dari tuna akibat cerebral palsy (tuna mental) yang disertai dengan menurunnya daya ingat walau tidak sampai jauh dibawah normal; c) Tuna daksa taraf berat, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tuna akibat cerebral palsy berat dan ketunaan akibat infeksi. Pada umumnya anak yang terkena kecacatan ini tingkat kecerdasannya tergolong dalam kelas debil, embesil dan idiot.

Slamet Riadi Dkk, membedakan tuna daksa menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: polio, cerebral palsy dan cacat tubuh yang lain. Uraian lebih lanjut dari ketunaan tersebut adalah:

Polio, yang lebih lengkap disebut polio meningitis. Pada umumnya bila penderita sudah parah sulit untuk disembuhkan, penyebab penyakit ini adalah baksil atau virus. Kebanyakan yang terserang penyakit polio ini adalah anak yang berusia 2-6 tahun. Oleh karena itulah disebut sebagai penyakit lumpuh anak-anak.Beberapa jenis penyakit polio ini adalah hemiplegia, tubercoluse tulang dan muscle dystophie.

Cerebral palsy, menurut artinya dari cerebral atau cerebrum yang artinya otak. Palsy artinya kekakuan. Jadi cerebral palsy berarti kekakuan yang disesabkan kelainan didalam otak. Oleh karena itu cerebral palsy merupakan cacat sejak lahir yang sifatnya gangguan-gangguan atau kerusakan-kerusakan dari fungsi otot dan urat saraf.

Cacat tubuh lain, dengan sendirinya semua kelainan fisik yang tidak termasuk dalam kategori polio dan cerebral palsy termasuk didalam ketunaan/ cacat tubuh lain.

MASALAH PSIKOLOGIS ANAK TUNA DAKSA

Kebutuhan merupakan sesuatu yang dapat mendorong munculnya aktifitas seseorang atau individu untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan juga merupakan prasyarat yang harus dipenuhi apabila ingin menciptakan sesuatu yang ideal atau yang dikehendaki. Manusia yang ideal adalah manusia yang dapat mengembangkan potensi diri dan sosialnya sesuai dengan kemampuan yang tersedia didalam dirinya. Kebutuhan manusia bukan hanya mencakup kebutuhan dasar dan pemenuhan kebutuhan fisik tetapi juga fisiologis. Kebutuhan fisiologis bagi anak luar biasa tentu saja sangat memerlukan bantuan orang lain didalam memenuhi kebutuhan hidup dan bathinnya, bahkan bantuan orang lain itu dapat saja berlangsung sepanjang hidupnya sebagai akibat dari beratnya keluarbiasaan yang disandang oleh anak tuna.

Ditinjau dari aspek psikologis anak tuna daksa cenderung merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif dan kadang-kadang pula muncul sikap egois terhadap lingkungannya. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Keluarbiasaan jenis apapun yang disandang anak tuna merupakan pengalaman personal. Ini berarti siapapun yang berada diluar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengerti, memahami dan mengalaminya. Anak atau siswa tuna daksa yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa yang dipikirkannya. Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya.

Dengan adanya keluarbiasaan dalam diri seseorang sering eksistensinya sebagai makhluk sosial dapat saja terganggu. Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak itu maka efek psikologis yang ditimbulkannya juga tergantung dari seberapa berat ketunaan yang disandangnya itu, kapan saat terjadinya kecacatan, seberapa besar kualitas kecacatan dan karakteristik susunan kejiwaan anak atau siswa tersebut sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Menurut Tarmansyah jenis masalah psikologis, seperti: 1). Masalah psikologis taraf ringan anak tuna daksa pada umumnya terjadi oleh gangguan lateralisasi. Beberapa anak tuna daksa hanya kesulitan untuk menggunakan anggota tubuh saja, ini sebagai akibat oleh kerusakan yang terdapat pada hemisper dominannya. Dalam hal ini anak yang mengalami gangguan anggota tubuh secara psikologi berlangsung normal sebagaimana permasalahan anak normal; 2). Masalah psikologis taraf sedang anak tuna daksa disebabkan sebagai akibat kerusakan pusat syaraf, sehingga anak seringkali mengalami kesulitan untuk mengolah rangsangan visual, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam konsep bentuk, keseimbangan posisi, ruang warna, perasa, bunyi dan peraba. Gangguan motorik berakibat pula terhadap kondisi jiwa, termasuk didalamnya adalah emosi, misalnya rasa rendah diri, mudah tersinggung dan keras kepala, tetapi intelegensinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, 3). Masalah psikologis taraf berat anak tuna daksa pada umumnya sebagai akibat retardasi mental. Retardasi mental anak tuna daksa mencakup sebagian besar fungsi mental dan intelektual. Problema ini sebagai akibat dari kondisi ketidak mampuan anak yang disebabkan oleh imaturation, keterbatasan kemampuan untuk belajar dan berlatih, kesukaran untuk bergaul maupun bermain, kurang cepat dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kemampuan dinilai lebih rendah bila dibandingkan dengan anak normal diusianya.

Dengan demikian maka sikap anak atau siswa luar biasa, khususnya tuna daksa, akan tampak perbedaan sikap dari masing-masing anak ketika ia merespon sesuatu. Ada yang bersifat kekanak-kanakan atau infatil walaupun secara umur sudah bukan anak lagi. Jadi sikap anak luar biasa kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi fisik dan umurnya. Bahkan ada juga yang bersikap apatis atau acuh tak acuh terhadap kehadiran orang lain, sikap pasif dan atau sikap menentang perintah (negativistik). Dalam sikap itu tersimpul didalamnya suatu kecenderungan corak perasaan dan kemauan. Corak perasaan dan kemauan seseorang tampak pada tingkah laku seseorang, namun tingkah laku biasanya didahului dengan usaha persiapan, yaitu proses berpikir.

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Pengertian yang cukup mengenai fase-fase perkembangan manusia pada umumnya merupakan syarat utama apabila ingin membantu atau melayani seseorang anak atau siswa mengembangkan dirinya hingga memperoleh perkembangan yang harmonis dan optimal. Tiap fase perkembangan mempunyai sifat khas yang berlain-lainnan antar individu atau anak, oleh karena itu apabila memiliki pengertian dan pemahaman yang cukup tentang sifat khas dari fase-fase pekembangan tertentu maka akan dapat mengambil sikap yang tepat guna ikut mendorong individu berkembang dengan sebaik-baiknya.

Bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang dan atau sekelompok orang yang bertujuan agar masing-masing individu mampu mengembangkan dirinya secara optimal, sehingga dapat mandiri dan atau mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Jadi yang ingin dicapai dengan bimbingan ialah tingkat perkembangan yang optimal bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut merupakan tujuan utama pelayanan bimbingan di sekolah, dan tujuan tersebut terutama tertuju bagi murid-murid sebagai individu yang diberi bantuan. Akan tetapi sebenarnya tujuan bimbingan di sekolah tidak terbatas bagi murid saja, melainkan juga bagi sekolah secara keseluruhan dan bagi masyarakat.

Dengan demikian hakekat tujuan bimbingan dan konseling yaitu suatu upaya bantuan kepada individu agar dapat menerima dan menemukakan dirinya sendiri secara efektif dan produktif, sehingga dapat mengerahkan kemampuan dirinya dengan tepat, mengambil keputusan dengan benar dan dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Oleh karena itu sudah saatnya dalam rangka menyongsong berlakunya Undang Undang Nomor : 14 Tahun 2006, tentang Guru dan Dosen maka Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kongkrit dengan mengangkat atau menetapkan profesi dan sertifikasi guru layanan bimbingan dan konseling pada sekolah-sekolah luar biasa, sehingga perhatian terhadap anak luar biasa menjadi tidak terabaikan dan sekaligus menepis issue diskriminasi terhadap anak didik.

Sebagai catatan, tampaknya telah banyak sarjana pendidikan jurusan bimbingan dan konseling atau bimbingan dan penyuluhan yang tidak bekerja sesuai dengan profesinya atau bahkan belum memiliki kesempatan mengembangkan ilmunya di dunia pendidikan , karena sebab-sebab tertentu atau bahkan banyak guru-guru (PNS) yang telah melanjutkan jenjang pendidikannya ke jurusan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, ketika tanggal 20 Mei 2006, Universitas Indraprasta PGRI ( yang dahulu STKIP PGRI) mewisuda sarjananya, terdapat 119 wisudawan/wati dari Fakultas Pendidikan, Jurusan Bimbingan & Konseling, dan dari sekian banyak wisudawan/wati terdapat para guru (PNS) yang meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya dibidang tersebut. (Penulis adalah Guru SLB-D YPAC Jakarta sejak tahun 1981, ibu tiga putri Alifah (S1), Ennisa (Mahasiswa), Enovera (SMA) buah hati dengan suami tercinta Drs.Supriyanto Budisusilo/ Wisudawati UNINDRA PGRI 2006/H.Nur)
CAROLINA, SPd/H.Nur

Cerita Shafa: Tuna Rungu Jangan Menjadi Hambatan Sep 15th, 2008

Namaku Shafa Husnul Khatimah, aku lahir di Bandung tanggal 20 Juni 1991. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Aku dilahirkan dengan keadaan normal, aku cucu pertama dari keluarga ibuku, aku sangat disayang dan diperhatikan oleh keluarga besar i buku. Ibu dan keluargaku bercerita bahwa aku adalah anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Ketika aku bayi sampai usiaku 20 bulan tidak ada yang dikhawatirkan terhadap diriku sebab aku tumbuh dengan sangat wajar, namun pamanku sedikit takut dengan pendengaranku, karena setiap mereka memanggil namaku, tak penah sekalipun aku menoleh, sehingga pamanku menyarankan kepada ibuku untuk memeriksakan pendengaranku, ketika itu ibuku marah besar karena menurut beliau tidak ada masalah dengan pendengaranku. Namun akhirnya ibuku ikut juga saran paman untuk memeriksakan pendengaranku.
Aku diperiksa oleh dokter THT namun dokter tidak yakin apakah aku tuli atau tidak, untuk meyakinkan apakah aku punya masalah pada pendengaranku akhirnya aku periksa BERA (test pendengaran dengan peralatan computer) . Setelah selesai pemeriksaan dan mendapatkan hasilnya betapa terkejutnya keluargaku karena dokter menyatakan bahwa aku termasuk anak tuna rungu berat, ini semua dilihat dari hasil tes BERA yang menunjukkan bahwa untuk telinga kanan tidak tembus ambang 110 Db (Decibel) - kekerasan suara yang terdengar diatas 110 Db - , dan telinga kiri mencapai 110 db.

Setelah mendapatkan hasil tes BERA tersebut keluarga besarku mencari solusi untuk pengobatanku baik melalui dokter sampai ke alternatif, karena mereka beranggapan bahwa kita harus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin karena Allah akan memberikan hasil sesuai dengan usaha dan doa kita. B

Saat aku memasuki bangku sekolah, aku masuk TK umum di Cimahi ketika usiaku 4 tahun. Aku belum bisa bicara seperti teman-teman yang lain, namun aku tidak berkecil hati sebab aku terus belajar dan mengikuti terapi bicara, namun orang tuaku kasihan melihatku yang sering kali dibicarakan oleh teman-temanku. Akhirnya aku dipindahkan ke sekolah khusus anak tuna rungu di Jakarta. Padahal ketika itu banyak sekali hal-hal yang dikorbankan termasuk karir ayahku dimana ayahku harus cari kerja baru di Jakarta, padahal karir ayahku saat itu cukup bagus, namun demi aku mereka rela memulai dari awal lagi. Di samping itu juga aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu Dewi Tirtatawati, beliau adalah salah satu orang yang sangat berharga bagiku, karena tanpa beliau aku belum tentu bisa berbicara seperti sekarang ini. Ibu Dewi adalah guru terapi bicaraku, dia sangat sabar dan sayang kepadaku, aku terapi setiap hari dari hari Senin sampai Jum’at, di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung.
Ketika kami pindah ke Jakarta aku dimasukkan ke sekolah SLB-B Santi Rama, namun aku hanya bisa sekolah di sana 2 minggu sebab ibuku melihat aku tidak cocok sekolah di sana. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke TK umum Mutiara Indonesia cabang Kayu Putih,selama 2 tahun. Alhamdulilah ketika aku bersekolah di sana aku punya banyak teman, karena mereka sangat peduli dan mau berteman denganku, walaupun aku belum lancar bicara tapi mereka mau mengerti dan memahamiku. Setelah itu aku pindah lagi ke Cimahi untuk masuk SD. Di Cimahi aku masuk sekolah SD umum yaitu SDN 2 Cimahi. Aku masuk SD berumur 7 tahun. Alhamdulillah aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bicaraku pun semakin baik juga sebab aku tetap terapi bicara terus sampai usiaku 7 tahun.


Ketika aku baru masuk SD sampai kelas 4 aku sering dihina teman-temanku, mereka bilang aku si kuping robot sebab di telingaku ada alat bantu dengar, tapi aku tak menghiraukan mereka yang penting aku tidak merugikan mereka dan tidak membalasnya. Alhamdulillah setelah kelas 5 teman-temanku tidak lagi menghinaku. Aku di sekolah tidak minder. Aku berpikir, aku seperti ini adalah kehendak Allah. Aku, orang tuaku dan keluarga besarku tidak ingin aku dikasihani, sehingga aku diperlakukan sama seperti yang lain. Aku di sekolah memang tidak dapat ranking 5 besar tapi nilaiku cukup bagus terbukti dengan nilai UPMPku sehingga aku bisa masuk SMPN 1 Cimahi.yang menurut orang-orang SMPN favorit yang sangat bagus dan berat untuk bisa masuk ke sana.

Ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung. Alhamdulillah aku punya banyak teman. Teman-temanku tidak menyangka kalau aku adalah anak tuna rungu, bahkan guru-guru juga. Ibuku selalu bercerita kepada guru-guru BP, padahal aku tidak ada masalah dengan pelajaran di sekolah, kecuali setiap ada pelajaran mendengar (listening), aku sangat susah untuk mengikuti. Alhamdulillah pada pelajaran lain aku dapat menerima dengan cukup baik.

Sekarang aku kelas 3 SMP, aku pernah ikut olimpiade matematika se-kota Cimahi ketika kelas 2 SMP, alhamdulillah aku dapat peringkat 3 ketika tes tertulis. Ketika SD aku juga sering juara lomba Sempoa Aritmatika dan Mewarnai. Aku juga belajar drum sampai sekarang sebab setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik lain seperti gitar, keyboard, recorder. Sebelum aku belajar drum aku tidak bisa belajar alat musik apapun dan entah kenapa setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik yang lain. Mungkin di drum aku belajar ketukan sehingga aku sedikit tahu tentang alat musik yang ditentukan dengan tempo (ketukan). Aku juga tidak malu kalau tampil main drum dan aku pernah tampil ketika kota Cimahi berulang tahun. Orang-orang yang tidak tahu tentang keadaanku mereka tidak menyangka bahwa aku anak tuna rungu berat sebab aku bisa bicara seperti anak normal. Namun, memang aku sering tidak bisa mendengar kalau orang bicara pelan walaupun aku sudah pakai Alat Bantu Dengar.

Aku dan keluargaku ingin sekali berbagi kepada semua orang yang memiliki anak tuna rungu, sebab orang sering beranggapan kalau anak tuna rungu itu tidak bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin tunjukkan bahwa yang tuna rungu bisa berbicara dengan lancar dan baik sebagaimana orang normal. Kami ingin menginformasikannya kepada semua orang.

Kisah Shafa: Belajar Berbicara Sep 15th, 2008

Aku masih ingat mungkin usiaku sekitar 5 tahun. Setiap hari aku pergi ke RSHS untuk terapi wicara. Alhamdulillah aku dapat terapis yang sanga baik dan peduli.

Terima kasih Bu Dewi, jasamu tak terbalaskan.

Aku setiap hari terapi wicara, aku bilang kalo terapi wicara itu sekolah sebab aku seperti orang mau sekolah. Aku selalu bawa bekal makanan, aku bawa pensil dan buku, tak lupa aku bawa tape (radio rekaman) untuk merekam. Selain aku belajar terapi wicara aku juga jadi bisa membaca lebih lancar dan bisa menulis. Kalau tape untuk merekam supaya nanti di rumah bisa di dengar ulang dan aku bisa latihan yang lebih banyak sehingga aku jarang sekali mengulangi huruf atau kata-kata yang sudah di berikan oleh Ibu Dewi.

Aku senang sekali terapi wicara walaupun aku sakit aku tetap ingin terapi wicara sebab aku ingin bicara. Yah, harus butuh perjuangan kan? sayang kalo dipake dengan sia-sia..
Dulu aku belum bisa bicara, aku sering marah-marah sebab kesel ko orang tidak mengerti apa yang aku maksudkan, tapi aku beruntung mempunyai kelurga yang sangat sabar dan menyayangiku. Dulu aku suka mengganggu adikku Athifa, maksudku bukan menggangu tapi ingin bermain bersama namun Athifa tidak mengerti kali ya. Setiap kali Athifa main pasti mainannya aku ambil padahal mainan yang lain banyak, untung Athifa baik sehingga selalu mengalah, mungkin kesabaran Athifa benar-benar aku uji ya ???

Tapi pernah juga aku digigit perutku gara-gara aku selalu merebut mainan yang sedang Athifa mainkan, dan Athifa kesal sehingga perutku digigitnya, sampai sekarang ada bekasnya lo….Tapi aku bersukur punya adik-adik yang baik dan mengerti aku.

Aku ketika TK di Cimahi tidak punya teman sebab mereka tidak ingin bermain denganku karena aku tidak bisa bicara, namun aku tidak peduli yang penting aku mau sekolah dan aku mau pintar.

Aku juga punya tetangga (Mauren) dia sangat baik sekali, walaupun aku tidak bisa bicara namun dia mau bermain denganku asal aku mau pakai ABD. Biasanya yang menterjemahkan kata-kataku yah Athifa, Athifa cukup mengerti bahasaku walaupun dulu sering dibilang bahasa planetnya Shafa.

Aku rajin terapi Wicara, dan dirumah aku sering mengulangi pelajaran ketika terapi, yang sangat membantu terapi dirumah yaitu ibu, Athifa, bibi Ningsih. Mereka selalu mengingatkanku bila aku salah dalam pengucapannya. Kalau ayah karena bekerja jadi jarang mengajariku mengulangi pelajaran terapi wicara. Ayah banyak mengajariku membaca dan berhitung dengan menggunakan komputer.

Alhamdulillah setelah berjuang aku bisa juga bicara dan sekarang aku sudah tidak merasakan berbeda dengan orang normal lainnya.

Sumber: http://www.shafahk.multiply.com

Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu

Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).

Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).



Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.

Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses ‘input’ bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan ‘output’nya bermasalah.

Pada anak tuna rungu, ‘output’nya bermasalah justru karena gangguan pada ‘input’. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)

Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.

Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias ‘input’nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).

Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.

Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba “Ellen” “Ibu” “Ellen” “Ibu” dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)

Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya –kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.

Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)
http://www.terapiwicara.net/2009/12/terapi-wicara-untuk-tuna-rungu-vs-non.html

Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu

Komunikasi Sehari-hari Anak Tuna Rungu

Dalam percakapan sehari-hari dengan kata-kata yang sudah “dimengerti” Ellen, bukan ketika sedang terapi atau mengajarkan kata/kalimat baru (maksud “dimengerti”: Ellen sudah paham yang kita maksud, walaupun kadang ia bisa merespon dengan kata-kata dan kadang belum bisa):

kita berbicara secara normal
(sebagaimana bicara dengan semua orang lain)

Karena untuk itulah Ellen dimasukkan ke komunitas umum supaya sedikit demi sedikit belajar sampai suatu saat bisa mengejar ketertinggalannya.

Jadi kami minta pengertian dan kerjasama semua pihak yang terkait dengan kehidupan sehari-hari Ellen (keluarga, pengasuh, guru sekolah, terapis wicara, guru sekolah minggu, teman-teman, tetangga) untuk:

1. Tidak memandang Ellen sebagai anak yang khusus jadi tidak perlu mengajaknya berkomunikasi dengan cara khusus (memperlihatkan gerak bibir, berbicara keras/teriak, bahasa isyarat/gerakan tangan)

2. Memahami keterbatasan komunikasi Ellen karena usia mendengarnya yang baru 2 tahun sehingga belum banyak kosa kata (tetapi perkembangan intelektualnya biasa) dan berbicara secara normal sebagaimana kepada anak yang masih sangat kecil, sambil memberi ruang kepada Ellen untuk mengejar ketertinggalannya.

Point 1 terutama sangat berat. Sulit sekali mengubah paradigma dan persepsi kebanyakan orang terhadap anak tuna rungu: Bahwa anak tuna rungu tidak bisa mendengar, sehingga harus bicara berhadap-hadapan dengan perlihatkan gerak bibir, dengan suara keras/teriak, dengan bantuan isyarat/gerakan tangan.

Minggu, 09 Mei 2010

Apa Itu Thalassaemia?

Hingga kini, penyakit ini masih belum ditemukan obatnya. Penderitanya di Indonesia sudah mencapai lima ribuan orang. Namun, masih banyak orang yang asing mendengar kata Thalassaemia. Apa itu Thalassaemia?

"Thalassaemia itu kelainan sel darah merah dan merupakan penyakit bawaan," ujar Ketua Harian Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia Indonesia, Ruswandi, Minggu (9/5/2010), di Silang Monas, Jakarta.

Kelainan tersebut membuat sel darah merah yang bertugas mengantarkan oksigen ke jaringan tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, sering kali penderita Thalassaemi terlihat pucat dan mudah lemas. Penyakit Thalassaemia termasuk anemia hemolitik yang ditandai oleh pembesaran limpa dan hati.

Thalassaemia terdiri dari dua tipe, yaitu: 1. Thalassaemia trait/pembawa sifat (carrier) yang mana penderita tidak mengalami gangguan kesehatan. 2. Thalassaemia mayor yang mengalami gangguan kesehatan dan perlu transfusi darah selama hidupnya karena sel darah umurnya pendek. "Thalassaemia carrier itu fisiknya terlihat sama seperti orang sehat, beda dengan mayor yang mudah lemas dan terlihat pucat," ujar Ruswandi kepada Kompas.com.

Pada orang normal sel darah merah pecah dalam waktu 120 hari. Namun, dalam penderita Thalassaemia Mayor sel darah merah pecah antara 20-30 hari.

Pengobatan hanya diperuntukkan Thalassaemia Mayor dengan cara: 1. Transfusi darah tiap bulan sekali selama seumur hidup 2. Memberikan obat kelasi besi untuk menetralisasi zat yang menumpuk akibat transfusi darah yang dilakukan secara terus-menerus 3. Transplantasi sum-sum dari saudara kandung, namun hal ini mempunyai persyaratan kesehatan yang sangat ketat.

Pencegahan hanya bisa dilakukan untuk penderita Thalassaemia Carrier. Caranya dengan menghindari pernikahan antar sesama penderita carrier. "Kalau pasangan itu dua-duanya punya thalassaemia carier, 25 persen bisa jadi anaknya akan kena yang akut (Thalassaemia Mayor)," ujar Ruswandi menjelaskan.

Saat ini, terdapat 1.494 penderita Thalassaemia yang berobat di Pusat Thalassaemia RSCM. Sedangkan di seluruh Indonesia mencapai 5.000 penderita.

JAKARTA, KOMPAS.com

Ingin Anak Jenius? Latih Otak Tengah

Semua orang tua menginginkan buah hatinya memiliki kecerdasan maksimal. Selama ini diyakini kecerdasan anak diperoleh dengan memaksimalkan fungsi otak kanan atau otak kiri. Ternyata, anak bisa menjadi lebih cerdas dengan memaksimalkan otak tengah juga. Dengan melatih otak tengah anak-anak akan lebih cerdas, inovatif, kreatif, serta intuitif.

Pelatihan otak tengah ini digaungkan oleh salah satu lembaga yang bergerak di bidang pengenalan talenta anak, MAP Quasar Talenta. Mereka telah berhasil mencoba pengaktifkan otak tengah 30 orang anak yang ikut serta dalam pelatihan dari tanggal 1 hingga 2 Mei lalu.

"Kami menggunakan metode MAP (Mesencepalon Activation Program). Langkah pertamanya dengan mengambil sidik jari anak dengan fingerprint analysis. Setelah itu, kami memberikan pelatihan otak tengah anak seperti senam otak," kata CEO MAP Quasar Talenta, Irawati Bagus, saat melakukan aktivasi otak terhadap 15 anak berusia 5 sampai 15 tahun yang bertempat di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Minggu (9/5/2010)

Scanning sidik jari yang Iriwati maksud dilakukan untuk mengetahui potensi dasar anak yang dibawanya dari lahir. Barulah setelah itu dilakukan senam otak dengan mendengarkan musik, dan pelatihan menyenangkan lain yang dilakukan trainer terlatih.

Pelatihan otak tengah ini telah terbukti membuat kecerdasan akademis anak meningkat. Karena metodenya yang santai dan menyenangkan, konsentrasi, dan kepercayaan diri anak turut terasah.

Pelatihan otak tengah MAP Quasar Talenta diadakan periodikal setiap Sabtu dan Minggu di Jakarta. Program berikutnya kembali diadakan pada 15 dan 16 Mei bertempat di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan. Diharapkan setiap pekannya bertambah anak-anak jenius Indonesia.

JAKARTA, KOMPAS.com

Ragam Sakit Kepala

VIVAnews - Sakit kepala adalah salah satu gangguan medis yang paling umum dikeluhkan pasien. Sakit kepala didefinisikan sebagai rasa sakit di wilayah kepala, yang meliputi kulit, otot, pembuluh darah, sinus, struktur gigi, dan saraf kranial.

Ada dua jenis sakit kepala. Sakit kepala primer yang disebabkan disfungsi bagian tertentu sehingga menyebabkan nyeri di kepala. Sedangkan sakit kepala sekunder biasa disebabkan penyakit.

Simak lima jenis sakit kepala yang dipaparkan Mayo Clinic, seperti dikutip dari laman Live Strong, berikut ini.

Vaskular

Sakit kepala ini terjadi sebagai akibat rasa sakit yang dihasilkan oleh pelebaran pembuluh darah di kepala. Jenis paling umum adalah migrain, yang diidap sekitar 28 juta orang di Amerika Serikat.

Migrain terjadi berulang-ulang antara empat hingga 27 jam. Rasa sakitnya bervariasi mulai tingkat moderat sampai parah dengan kedua sisi atau satu sisi kepala berdenyut. Gejala migrain yang lain adalah aura visual atau sensori, mual, muntah dan peka terhadap cahaya, dan atau suara. Migrain lebih banyak menyerang wanita daripada pria.

Cluster

Cluster adalah jenis lain dari sakit kepala vaskular. Sakit kepala ini lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita dengan rasio 6:1. Sakit kepala cluster biasanya menyebabkan sakit yang sangat menyiksa antara 15 sampai 180 menit di area belakang mata atau puncak kepala. Sakit kepala cluster biasanya kambuh pada waktu tertentu, seperti sebelum tidur.

Myogenic

Myogenic sakit kepala yang disebabkan ketegangan otot leher, bahu, kulit kepala atau rahang. Jenis sakit kepala ini sering dipicu oleh stres, kecemasan atau depresi. Sakit kepala jenis ini ditandai dengan nyeri ringan sampai sedang, dan sering disertai hilangnya nafsu makan.

Inflamasi

Sakit kepala adalah sakit kepala sekunder yang disebabkan oleh penyakit atau gangguan peradangan di kepala. Jenis sakit kepala inflamasi yang paling umum adalah sakit kepala akibat peradangan sinus disertai alergi. Penyebab lain sakit kepala inflamasi adalah meningitis, yaitu radang selaput di sekitar otak dan sumsum tulang belakang.

Traksi

Sakit kepala traksi disebabkan oleh massa atau lesi yang menekan struktur dan pembuluh darah di kepala. Kondisi ini diakibatkan tumor metastatik, abses atau hematoma, pembengkakan yang dipenuhi darah. Jenis sakit kepala ini sering makin parah di pagi hari, saat batuk, buang air kecil atau tegang.

By Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila

Agar Anak Sukses Hadapi Ujian

VIVAnews - Persiapan ujian seringkali tak hanya membuat anak stres, tapi juga orangtua. Tanpa sadar, kekhawatiran orangtua terhadap hasil ujian justru bisa mempengaruhi psikologi anak dan 'merusak' hasil ujian mereka.

Craig Halsall, pakar pendidikan dari Justin Craig Education merekomendasikan beberapa tips bagi orangtua yang ingin membantu anak agar sukses melewati ujian.

1. Menyediakan ruang di rumah yang sesuai untuk belajar dan latihan mengerjakan soal. Berikan anak buku-buku latihan di ruang yang cukup luas dan ajak mereka mengerjakannya.

2. Periode latihan jangan sampai lebih dari 90 menit menit tanpa istirahat. Selingi dengan istirahat secara teratur dan paling penting anak benar-benar menikmati belajar.

3. Melakukan latihan mengerjakan soal dan belajar sebagai sesuatu yang rutin di rumah.

4. Komunikasikan dengan anggota keluarga lainnya sehingga ruang anak tidak terganggu. Begitu juga dengan buku-buku mereka.

5. Luangkan waktu untuk membantu kesulitan mereka, meskipun tanpa diminta atau bantuan moral sekalipun.

6. Aktif memdorong latihan anak di luar jadwal yang ada. Sertakan jadwal dengan tampilan menarik seperti poster yang menyenangkan di sekitar rumah. Ajak anak untuk mematuhi dan mengisi jadwal mereka sendiri.

7. Biarkan musik santai mengalun selama sesi belajar. Tetapi matikan televisi dan hindari gangguan dengan suara keras serta gangguan lainnya seperti adik yang masih terlalu kecil.

8. Perhatikan waktu tidur. Prioritaskan tidur lebih awal dan biarkan anak beristirahat siang agar pikirannya lebih segar.

9. Sajikan makanan bergizi dan dorong anak makan sarapan sehat.

10. Cari waktu bicara dari hati ke hati pada anak untuk menceritakan masalah mereka dan mendengarkan ceritanya. Ini membantu mereka meredakan stres.

By Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila

Agar Tak Tertular Mata Merah

JAKARTA, KOMPAS.com - Walaupun termasuk penyakit ringan, mata merah (Acute Hemorrhagic Conjunctivitis/AHC) tak bisa dianggap sepele. Mata merah tidak akan menular melalui tatapan. Oleh karena itu pemakaian kacamata hitam saat sedang menderita mata merah sebenarnya tidak produktif.

Penyakit ini justru menular melalui sentuhan. Misalnya, penderita mengucek mata dengan tangannya, lalu memegang benda lain dan memaparkan kuman yang hidup, kemudian orang berikutnya memegang benda yang sama dan tidak mencuci tangan, hingga kemudian memegang matanya sendiri dan tertular.

Agar Anda terhindar dari penularan penyakit mata merah, berikut adalah kiat yang diberikan Jakarta Eye Center (JEC)

Untuk non penderita yang berada dalam lingkungan yang sama dengan pengidap AHC

1. Jaga kebugaran tubuh, karena penyakit ini seperti flu; sangat mudah menyerang penderita yang sedang dalam kondisi tidak fit.

2. Cuci tangan dengan bersih. Anda bisa saja harus meneteskan obat mata pada anak Anda yang sedang mengalami mata merah, atau merangkul lengan anak Anda ketika dia baru saja menempelkan tangannya yang terpapar kuman setelah selesai mengucek mata yang gatal, atau bahkan memegang pipi anak Anda saat menyusui bayi Anda yang terkena mata merah. Cuci tangan akan memutus rantai hidup kuman ini.

3. Udara AC dalam ruangan tertutup tidak menularkan mata merah. Karena itu tidak perlu menggunakan kacamata tambahan apabila ada orang-orang dekat Anda yang terkena mata merah. Sentuhan jauh lebih berbahaya.

4. Jika mata merah menyerang Anda tidak perlu panik. Anda cukup berhati-hati bersentuhan dengan si penderita dan periksakan diri ke dokter mata jika sudah terjadi lebih dari 3 (tiga) hari.

Untuk penderita AHC 1. Jangan gunakan handuk, bantal, alat mandi, alat tulis atau mainan yang sama dengan penderita mata merah.

2. Jika Anda terserang AHC pada kedua mata dan ingin mengompres mata Anda dengan air hangat untuk menguasai rasa gatalnya, sediakan 2 (dua) handuk dan 2 (dua) baskom yang berbeda. Mengapa? Agar kuman dari mata tidak berpindah-pindah antara kedua mata.

3. Jika Anda menggunakan tisu untuk melap mata merah Anda, segera buang tisu tersebut agar kumannya tidak terpapar di meja yang mungkin akan dipegang oleh orang lain.

4. Banyak istirahat. Ketika host semakin sehat, maka kuman akan semakin cepat mati karena dilawan oleh sistem kekebalan tubuh dan reaksi obat. Memaksakan diri bekerja saat sedang terkena AHC sama dengan membiarkan penyakit ini sembuh lebih lama.

5. Sebaiknya jangan gunakan make up apabila Anda terkena AHC, agar tidak memperburuk peradangan.

6. Ketika beristirahat di rumah, jangan paksakan mata Anda untuk beraktivitas berat seperti main game atau melanjutkan pekerjaan kantor di laptop.

Kamis, 06 Mei 2010

Menghambat Pertumbuhan Sel Kanker Payudara

VIVAnews - Bertolak belakang dengan hasil penelitian Karolinska Institute di Swedia, tim peneliti asal Puerto Rico mengungkap bahwa asupan multivitamin dan kalsium dapat mengurangi risiko kanker payudara.

"Efeknya terlihat dengan asupan multivitamin, bukan vitamin tunggal," kata Profesor Dr. Jaime Matta, farmakologi, fisiologi dan toksikologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Ponce, Puerto Rico. "Multivitamin bekerja lebih baik daripada vitamin individual."

Dalam pertemuan tahunan Asosiasi Penelitian Kanker Amerika, tim peneliti mengatakan bahwa konsumsi tablet multivitamin secara rutin mengurangi risiko tumor sekitar 30 persen. Sedangkan suplemen kalsium mengurangi risiko sekitar 40 persen.

Penelitian dilakukan dengan membandingkan asupan vitamin dan kalsium pada 268 wanita pengidap kanker payudara dan 457 wanita tanpa kanker payudara di Puerto Rico.

Studi juga mengukur kemampuan DNA wanita memulihkan diri setelah kanker. "Kapasitas perbaikan DNA terkait dengan beberapa jenis kanker. Pemulihan juga sangat terkait dengan risiko kanker payudara," kata Matta.

Wanita berusia lebih tua memiliki kapasitas perbaikan DNA lebih rendah daripada wanita yang berusia lebih muda. Riwayat kanker payudara pada keluarga dan wanita yang tidak memberi ASI juga memiliki risiko lebih tinggi mengidap kanker payudara.


By Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila - Selasa, 20 April

Tiga 'Kartini' Dunia

VIVAnews - Setiap tanggal 21 April, kita selalu diingatkan akan perjuangan Raden Ajeng Kartini terhadap emansipasi wanita di tanah air. Tentang bagaimana wanita bisa memiliki hak yang sama dengan pria dalam sejumlah aspek kehidupan.

Perjuangan Kartini membuat wanita memiliki hak atas hidupnya. Bukan hanya bekerja di dapur dan mengurus keluarga. Itulah mengapa sebagai wanita, kita harus menunjukkan semangat untuk maju dan meraih prestasi di luar rumah.

Simak kisah tiga peshor wanita berikut ini, yang mungkin bisa menginspirasi kehidupan kita.

1. Oprah Winfrey

Siapa yang tak mengenal sosoknya. Melalui 'The Oprah Winfrey Show', ia tumbuh menjadi pesohor dunia yang menginspirasi banyak orang. Belum lama ini, ia bahkan dinobatkan sebagai wanita paling berpengaruh di dunia, melalui sebuah polling yang diadakan dalam rangka ulang tahun majalah Good Housekeeping ke-125.

Menilik perjalanan hidupnya, Oprah layak meraih penghargaan itu. Ratu talk show itu membuktikan perjuangan seorang minoritas di gemerlap dunia hiburan. Tak hanya lantaran ia seorang wanita kulit hitam, tapi ia juga berasal dari keluarga miskin yang memiliki kisah hidup kelam.

Lahir di Kosciusko, Mississippi, Amerika Serikat, 29 Januari 1954, Oprah menghabiskan masa kecilnya bersama sang nenek di sebuah peternakan kecil. Saking miskinnya, hampir seluruh baju-bajunya terbuat dari karung goni.

Oprah sempat kehilangan kendali atas hidupnya. Ia tak kuasa menanggung beban setelah menjadi budak seks paman dan sepupunya selama lima tahun, yang berujung pada kehamilan di usianya yang masih 14 tahun. Apalagi bayinya meninggal tak lama usai lahir.

Namun, semua itu justru memberinya segudang inspirasi menuju kesuksesan besar untuknya. Tak hanya keberhasilannya menggawangi talk show, tetapi juga kepiawaiannya membangun jaringan bisnis di dunia hiburan.

Seiring kesuksesannya, tahun ini, Forbes kembali menempatkannya sebagai wanita pesohor terkaya di dunia dengan total aset senilai US$ 2,4 miliar atau sekitar Rp 24 triliun.

2. JK Rowling

Sosok Joanne Kathleen Rowling menggebrak dunia dengan novel fantasi 'Harry Potter' karyanya. Lewat buku imajinasinya, ia 'menyihir' hidupnya dari seorang miskin menjadi sosok sukses kaya raya.

Tujuh seri 'Harry Potter' rekaannya masuk dalam jajaran buku terlaris di dunia sepanjang masa. Fantasinya mengenai kehidupan Sekolah Sihir Hogward itu tak hanya membuatnya berkibar di kancah kesusastraan internasional, tapi juga menjadikannya sebagai penulis wanita terkaya di dunia.

Kisah 'Harry Potter' sungguh mengubah hidup Rowling. Sebelum novel seri pertamanya dipublikasikan pada 1997, ia hanya seorang guru bahasa dengan kemampuan ekonomi terbatas. Bahkan, ia termasuk warga Inggris yang mendapat santunan dari pemerintah.

Sebagai gambaran, Rowling tak mampu membayar biaya foto copy untuk membuat salinan draft novelnya. Saat menawarkan kisah itu ke sejumlah penerbit, ia membuat salinan dengan cara mengetik ulang dengan mesin ketik tua.

Ia tak pernah bermimpi karyanya meledak di pasarann. Niat awal menjual karyanya hanya untuk membiayai kehidupan bersama anaknya. Kebetulan kala itu, ia adalah orangtua tunggal setelah bercerai dari suami pertama.

Namun, kenyataan berkata lain. Bukunya sukses dan diterjemahkan ke dalam 67 bahasa serta didistribusikan di lebih 200 negara. Ia membuktikan kepada dunia akan perjuangan seorang wanita mempertahankan hidup keluarganya.

3. Kathryn Bigelow

Namanya mencuat setelah berhasil memenangi Oscar sebagai sutradara terbaik. Lewat film berlatar perang Irak 'The Hurt Locker', ia mencetak sejarah baru sebagai wanita pertama yang menyandang gelar sutradara terbaik sepanjang 82 tahun sejarah Oscar.

Kemenangannya juga menjadi semacam sindiran terhadap film-film berbiaya besar yang menembus nominasi Oscar. Hanya dengan US$ 11 juta, karya independennya sukses menumbangkan film fenomenal 'Avatar', yang menelan biaya produksi US$ 300 juta.

Drama perang berirama cepat itu merupakan filmnya yang kedelapan. Selama ini, wanita kelahiran California tahun 1951 itu dikenal gigih membuat film-film indie yang mengangkat permasalahan sosial di masyarakat. Ia menjadikan film sebagai media untuk mengkritisi dunia.

Ia mengawali karier sebagai seorang pelukis dan pustakawan. Merasa tak cukup puas menuangkan ide kreatif di atas kanvas, ia lalu mengembangkan minatnya ke sinematografi dengan menempuh pendidikan di Universitas Kolombia. Sejak 1982, setidaknya ia telah menghasilkan delapan karya sinematografi.

Piala Oscar dalam genggaman Bigelow membuktikan banyak hal. Bukan hanya kualitasnya seorang sutradara wanita, namun juga keberhasilannya mengangkat sebuah karya independen berbiaya rendah ke ajang penghargaan film terbesar di dunia.

Benarkah Tangis Bayi Pengaruhi Kesehatan Otak

VIVAnews - Tangisan menjadi cara bayi berkomunikasi untuk mengekspresikan rasa tidak nyaman seperti ketika popoknya basah, lapar, mengantuk, lelah, takut, atau sakit.

Tangisan dipandang sebagai suatu hal yang wajar pada bayi, yang biasanya disertai gerakan menarik-narik kaki ke atas, kepala bergoyang, wajah kemerahan, ada pula yang disertai kentut atau flatus.

Namun, waspadai tangisan bayi yang terlalu lama. Kondisi seperti ini berpengaruh buruk terhadap perkembangan otak. Dr Penelope Leach berpendapat, bayi yang terlalu lama menangis tanpa respons akan sulit mengembangkan kemampuan belajar saat tumbuh besar.

Dia menyatakan, jangka waktu menangis yang lama dapat merusak otak. Menurut Dr Leach, terus menangis menyebabkan peningkatan produksi 'hormon stres' yaitu kortisol. Semakin panjang periode bayi menangis, semakin banyak kortisol yang merusak fungsi pengendali di otak bayi.

"Bukan berarti bahwa bayi tidak boleh menangis, Menangis bukan tidak baik, tetapi jangan membiarkan tangisan tidak mendapat respons," ujar penulis buku 'Your Baby And Child: From Birth To Age Five' tersebut.

Komentar Dr Leah yang dimuat dalam The Independent bertentangan dengan pendapat sejumlah pakar dan studi lain. Pakar anak dan penulis 'Queen of Routine' Ford Gina menyarankan, agar membiarkan bayi baru lahir menangis hingga 20 menit. Ini untuk membentuk pola tidur mereka.

Studi dan Murdoch Children's Research Institute Australia membagi dua 225 anak usia enam tahun saat masih bayi. Satu kelompok dengan periode tangisan yang dikendalikan dan satu kelompok dibiarkan terus menangis. Studi menyimpulkan, kedua kelompok bayi yang menangis tidak mempengaruhi perkembangan emosi dan perilaku mereka saat kanak-kanak.

Penelitian yang sama menemukan bahwa 50 persen orangtua yang memiliki masalah dengan pola tidur anak mereka mengalami masalah perkawinan. Apapun hasil penelitian itu, sebaiknya berikan respons segera saat bayi menangis.


By Pipiet Tri Noorastuti, Anda Nurlaila - Minggu, 25 April

Pertajam Penglihatan dengan Teh Hijau

VIVAnews- Teh hijau memang memiliki sejuta manfaat. Sifat antioksidannya, tak hanya bermanfaat bagi kecantikan, tapi juga kesehatan tubuh. Teh hijau juga bermanfaat untuk kesehatan mata.

Seperti dikutip dari laman Telegraph, teh hijau dapat melindungi mata dari serangan glaukoma atau penyakit mata lain. Organ-organ mata seperti lensa, retina, dan jaringan mata lain memiliki kemampuan yang baik menyerap nutrisi baik yang terkandung dalam teh hijau.

Hasil studi yang dipublikasikan di Journal of Agricultural and Food Chemistry, mengungkap kandungan catechin, satu jenis antioksidan dalam teh hijau. Salah satu peneliti, Chi Pang Pui, mengatakan, Catechin mengandung vitamin C, E, lutein, dan zeaxanthin, yang bermanfaat untuk penglihatan.

Para peneliti yang dari University of Hong Kong and Hong Kong Eye Hospita itu melakukan ujicoba terhadap sejumlah tikus. Hasilnya, asupan teh hijau meningkatkan ketajaman penglihatan binatang pengerat. "Kami berkesimpulan, konsumsi teh hijau bermanfaat untuk melawan gangguan stres pada mata."


By Pipiet Tri Noorastuti, Fadila Fikriani Armadita - Senin, 26 April

Pertajam Penglihatan dengan Teh Hijau

VIVAnews- Teh hijau memang memiliki sejuta manfaat. Sifat antioksidannya, tak hanya bermanfaat bagi kecantikan, tapi juga kesehatan tubuh. Teh hijau juga bermanfaat untuk kesehatan mata.

Seperti dikutip dari laman Telegraph, teh hijau dapat melindungi mata dari serangan glaukoma atau penyakit mata lain. Organ-organ mata seperti lensa, retina, dan jaringan mata lain memiliki kemampuan yang baik menyerap nutrisi baik yang terkandung dalam teh hijau.

Hasil studi yang dipublikasikan di Journal of Agricultural and Food Chemistry, mengungkap kandungan catechin, satu jenis antioksidan dalam teh hijau. Salah satu peneliti, Chi Pang Pui, mengatakan, Catechin mengandung vitamin C, E, lutein, dan zeaxanthin, yang bermanfaat untuk penglihatan.

Para peneliti yang dari University of Hong Kong and Hong Kong Eye Hospita itu melakukan ujicoba terhadap sejumlah tikus. Hasilnya, asupan teh hijau meningkatkan ketajaman penglihatan binatang pengerat. "Kami berkesimpulan, konsumsi teh hijau bermanfaat untuk melawan gangguan stres pada mata."


By Pipiet Tri Noorastuti, Fadila Fikriani Armadita - Senin, 26 April

Olahraga dalam Air Sembuhkan Sakit Punggung

VIVAnews - Sakit punggung sering dialami para pekerja yang duduk berjam-jam di depan komputer. Gejala ini sering disepelekan hingga kondisinya menjadi parah.

Untuk mengatasinya selain berolahraga dan berada dalam posisi duduk yang benar, ada cara lain yaitu dengan olahraga dalam air. Berikut tiga jenis olahraga yang bisa dilakukan dalam air untuk mengatasi sakit punggung.

- Berjalan dalam air

Berjalan di air bisa membantu Anda mengurangi tekanan pada sendi karena air memberikan daya apung. Menurut Water Fitness Association (USWFA) Amerika Serikat, ketika leher Anda berada dalam air, tubuh menjadi lebih ringan 90 persen. Hal ini berarti Anda akan mengurangi rasa nyeri pada punggung.

Berjalan di atas air dengan menggunakan sabuk flotasi untuk membuat tubuh tetap tegak. Untuk melakukan latihan ini, Anda cukup berjalan seperti biasa. Fokuslah untuk mempertahankan postur tubuh yang benar menggunakan otot inti dan hindari ketegangan. Anda bisa mengombinasikannya dengan gerakan lain. Seperti mengangkat kaki dengan tinggi, menggerakkan tangan, atau berjalan ke samping dan ke belakang. Seperti berjalan di darat, tingkatkan juga kecepatan dan intensitas gerakan Anda dalam air.

- Yoga dalam air

Yoga dalam air juga dikenal dengan beberapa nama seperti "yoga float" atau "yoqua". Latihannya seperti yoga biasa, tetapi dilakukan dalam air. Dengan latihan yoga dalam air, otot lebih cepat relaks, dan tubuh menjadi lebih fleksibel. Napas pun lebih terkoordinasi dengan baik. Jika Anda melakukan dalam kolam air hangat, bisa membantu mengendurkan otot yang tegang dan meningkatkan sirkulasi darah. Latihan ini cukup efektif untuk mengatasi nyeri punggung. Untuk melakukan latihan ini Anda membutuhkan instruktur.

- Aqua Pilates

Latihan pilates bisa membantu menguatkan otot inti dan otot belakang serta meningkatkan fleksibilitas. Memperkuat kedua otot tersebut, bisa membantu mengurangi nyeri punggung dan meningkatkan kerja sendi. Joseph Pilates mengembangkan latihan ini pada 1920 untuk memperkuat otot tanpa membuatnya menjadi besar.

Latihan pilates dalam air juga berfungsi mendapatkan manfaat maksimal dari efek apung untuk menghilangkan rasa nyeri dan menciptakan relaksasi pada otot. Latihan dalam air memberikan 12 hingga 14 kali lebih resistensi dibandingkan di darat. Resistensi ini memperlahan gerakan sehingga latihan lebih efektif. Seperti yoga, untuk melakukan latihan ini Anda butuh instruktur.


By Petti Lubis, Anda Nurlaila - Selasa, 27 April

Telat Puber, Awas Sindrom Klinefelter!

Kompas
Kompas - Kamis, 6 Mei


JAKARTA, KOMPAS.com - Sindrom Kleinefelter sebenarnya dapat dikenali sejak dini melalui gejala-gejala yang tampak. Tanda dan gejala-gejala sindrom Klinefelter sangat bervariasi. Pada beberapa pria, sindrom ini akan menimbulkan dampak besar pada pertumbuhan dan penampilan.

Seperti yang dipaparkan dalam situs Mayoclinic, pada sejumlah kasus, sindrom Klinefelter juga dikaitkan dengan masalah kemampuan belajar dan berbahasa. Namun begitu, banyak penderita sindrom Klinefelter yang tidak menunjukkan gejala, dan pada banyak kasus kelainan ini tidak dapat didiagnosa hingga mencapai usia dewasa.

Salah satu gejala yang tampak pada remaja pengidap Sindrom Klinefelter adalah keterlambatan dalam memasuki masa pubertas atau masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual.

Berikut ini gejala-gejala sindrom Klinefelter berdasarkan usia :

Bayi : Pada saat dilahirkan, gejala dan tanda awal kelainan ini belum akan tampak. Seiring pertambahan usia, mereka tampak memiliki otot yang lemah. Perkembangan motoriknya pun terlambat. Bayi penderita sindrom ini butuh waktu yang lama untuk mencapai fase duduk, merangkak atau berjalan dibandingkan bayi lainnya.

Remaja : Postur penderita sindrom Klinefelter akan tampak lebih tinggi dan memiliki kaki yang panjang dibanding anak laki-laki lain. Tetapi mereka lebih lambat mengalami masa pubertas dibandingkan remaja lainnya. Ketika mencapai pubertas, mereka justru punya tubuh yang tidak berotot, tidak banyak tumbuh bulu pada tubuh dan wajahnya dibandingkan remaja lain. Ukuran testis mereka pun lebih kecil dan keras dibandingkan laki-laki seusianya. Pada beberapa kasus, rendahnya kadar testosteron akibat sindrom Klinefelter dapat menyebabkan pembesaran jaringan payudara (gynecomastia), tulang yang lebih rapuh dan rendahnya tingkat energi. Anak pengidap sindrom cenderung pemalu dan tidak seberani seperti anak lainnya

Dewasa : Penampilan pria penderita sindrom Klinefelter biasanya tampak normal, meskipun postur mereka mungkin lebih tinggi dari rata-rata. Jika mereka tidak diterapi dengan testosteron, mereka cenderung akan memiliki tulang yang rapuh (osteoporosis). Pria dengan sindrom Klinefelter syndrome biasanya memiliki fungsi seksual yang normal tetapi mereka infertil sehingga tidak dapat membuahi untuk memberikan anak.

Anak berkebutuhan khusus di lingkungan anak “normal”: diterima atau ditolak?

Saya masih ingat betul, saat-saat mendampingi anak saya yang pertama, Hans, bersekolah. Waktu itu usia Hans 2,5 tahun dan dia berada di Kelas Pra-Playgroup. Kelasnya sangat menyenangkan, terdiri dari beberapa anak laki dan perempuan yang manis-manis, dan seorang guru yang sangat dicintai oleh anak-anak. Segala sesuatu berjalan dengan baik, hingga pada suatu hari muncullah seorang anak baru, sebut saja namanya Don (bukan nama sesungguhnya). Don bertubuh besar dan agak gemuk, dialah yang paling besar dan kuat dibanding teman-teman sekelasnya. Don tidak bisa diam, dia suka naik meja, dia juga sering menangis, marah dan mengamuk, bahkan kadang berguling di lantai serta membenturkan kepalanya ke tembok. Don belum bisa berbicara selayaknya anak seusianya. Menurut neneknya, yang selama ini mengasuh Don sejak kecil, Don didiagnosis terkena Autis taraf ringan dan sedikit Hiperaktif.



Mengamati tingkah laku Don dari balik jendela kelas, sungguh sangat mencemaskan hati banyak orang tua. Apalagi setelah beberapa anak, yang umumnya memiliki tubuh sangat kecil, telah menjadi “korban” akibat ledakan emosi Don yang salah sasaran. Beberapa anak bahkan sempat merasa takut dan tidak mau sekolah. Si guru yang kebetulan bertubuh mungil, juga harus dengan sekuat tenaga berupaya memegang Don, bahkan kadang menggendongnya, bila hal itu dapat meredakan emosi Don yang sedang meledak.



Beberapa kali saya sempat berbincang dengan nenek Don, yang setiap pagi rajin mengantar dan menunggui Don hingga kelas berakhir. Saya bisa merasakan cinta kasih serta keprihatiannya atas diri Don yang memiliki gangguan perkembangan. Saya tidak bisa banyak membantu, juga kadang tidak tahu harus berkata apa, tetapi saya berusaha menjadi pendengar yang baik. Dari sini saya melihat bahwa, memiliki seorang anak dengan kebutuhan khusus, benar-benar menyita seluruh WAKTU, TENAGA, PIKIRAN, bahkan PERASAAN, disamping tentu saja, DANA yang tidak sedikit untuk berbagai pengobatan dan terapi yang harus dijalani oleh anak berkebutuhan khusus tsb. Si nenek memutuskan untuk memasukkan Don ke Sekolah Reguler karena ingin Don juga merasakan kehidupan seperti layaknya anak-anak “normal” lainnya.



Di sisi yang lain, saya juga menjadi tempat curhat (curahan hati) dari para orang tua yang merasa kehadiran Don di kelas anak-anaknya tidak pada tempatnya. Seharusnya Don berada di Sekolah Khusus, demikian kata mereka. Apalagi para orang tua yang anaknya telah menjadi “korban” tingkah laku Don, mereka memiliki berbagai bukti kuat bahwa kehadiran Don bisa merusak semangat bersekolah anak-anak lainnya, juga dalam hal keselamatan fisik anak-anak tersebut.



Sungguh dilematis bukan?

Masing-masing pihak punya kepentingan dan pergumulannya sendiri. Tetapi pada saat kepentingan dan pergumulan ini dikonfrontasikan, seringkali pihak yang harus mengalah adalah yang berada di posisi Don. Anak-anak seperti Don, harus disingkirkan, atau dalam bahasa yang lebih halus, kita mengatakan, harus memperoleh Pendidikan Khusus dan dipisahkan dari anak-anak “normal” lainnya.



Memang, ada beragam program dan terapi yang bisa membantu anak-anak ini untuk mengatasi masalah / gangguan perkembangannya. Ada terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasi, dan banyak program lainnya yang akan membantu anak mengatasi masalah emosi dan perilaku. Tetapi kita mungkin lupa, bahwa yang dibutuhkan oleh Don serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya tidak hanya berbagai program terapi, melainkan juga perasaan untuk diterima oleh lingkungannya.



Don dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya adalah juga ANAK-ANAK seperti layaknya anak-anak kita yang “normal”. Mereka butuh lingkungan yang mendukung, dimana mereka bisa bertumbuh dan berkembang pula dengan optimal.



Segala macam bentuk usaha untuk menyingkirkan anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan seperti Don, adalah perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Memang, akan ada resiko, akan ada usaha ekstra keras, akan ada banyak kerepotan yang bakal terjadi, bila kita mengijinkan Don hidup bersama dalam sebuah komunitas degan anak-anak kita yang “normal”. YA.

Mereka Juga Berharga Oleh : Sigid Widodo

Ya...mereka yang "rapuh" seperti Armando memang seringkali begitu mudah terlihat...tapi tak didengar...

Hari ini, sekali lagi aku kembali ikut merasakan dan belajar lagi bersama Armando, bagaimana harus hidup dalam sebuah "kerapuhan"...

karena selama ini aku telah bergabung dan berjalan bersama Armando sebagai sebuah kesatuan meski kami masing2 punya pribadi dan

cerita2 sendiri yang unik...

Aah...kerapuhan yang menyerang tubuh ternyata dapat juga menyerang jiwa... meyerang dan meruntuhkan kualitas sebuah kehidupan...

Pandangan orang mengenai kehidupan Armando yang rapuh, untuk bisa hidup "normal" dalam dunia yang "normal" selalu saja mendapatkan tantangan...

karena dalam mata banyak orang, seringkali Armando dianggap identik dengan kerapuhan itu sendiri.

Mereka yang pernah "terpukul" seperti ini tahu bagaimana frustrasinya di-marginalkan, dijauhi dan disingkirkan oleh sikap2 dingin seperti itu...

Kami seringkali hanya diberikan sekeranjang keraguan mengenai kemampuan kami, pilihan2 langkah hidup kami...

dan sering, krisis kepercayaan yang kerap menyertainya bisa menular, menjalar ke seluruh bagian dari diri kami dan membuat kami bertanya mengenai apa arti keberadaan kami...

Ternyata, dengan tubuh yang "rapuh", seluruh sendi kehidupan jadi dipertanyakan...

dari kemampuan untuk berkarya sampai kemampuan untuk bisa membangun sebuah hubungan dengan orang lain...

Kadang kami terjerembab jauh ke bawah, dan kami kehilangan kendali...

Akan tetapi, kami tetap mencoba berjalan...

bahkan, seringkali harus dengan melipat gandakan usaha kami....

karena...apa lagi pilihan kami?

Dalam perjalanan pulang, Armando berulang kali memberikan bahasa isyarat "boy" dan "girl" padaku....

Rupanya ia bingung dan bertanya mengapa ia tidak jadi bermain dengan anak2 yang berada di tempat yang baru saja kami tinggalkan itu...

Kucoba menahan gejolak di hati dan memohon padaNya untuk sekali lagi menguatkan kami...

karena bagaimana kami akan bisa menemukan jalan dan kekuatan untuk bisa berdiri lagi dan melanjutkan perjalanan tetap adalah sebuah misteri bagiku...

karena pada akhirnya, bagaimanapun banyaknya orang yang berada di sekeliling kami, kami harus berjalan sendirian...

Teman-teman kami dan orang2 yang kami cintai memang ada di dekat kami, memberikan kasih dan dukungan.

Akan tetapi, keberanian untuk mau terus melangkah tetap harus datang dari dalam diri kami sendiri...

Ya...Armando memang tak bisa berbicara.

Namun, ia tidak serapuh yang sering dibayangkan banyak orang...

Sekali-kali cobalah untuk mendengarkan suara hatinya...

Senandungnya memang sering terdengar lembut dan seakan ia sedang bernyanyi untuk dirinya sendiri...

Tapi, bila kita memilih untuk mau mendengarkan, ia sebenarnya sedang bernyanyi untuk kita juga....

Sungguh... ia sering berbicara...

dengan suara yang seringkali tak didengar...

Begitulah sepenggal tulisan Irma Koswara...dari “Sepotong Catatan Harianku”, ibunda dari Armando seorang anak penyandang “Cerebral Palsy” (kerusakan jaringan otak sejak lahir), sehingga dia tidak bisa berjalan seperti biasa, tidak bisa bicara, sering melakukan gerakan tiba-tiba dan tidak beraturan...begitu kira-kira diskripsi tentang dia. Namun di usianya yang ke 13, kemampuan yang dicapai sungguh “luar biasa”, buat orang lain hal ini biasa, tapi buat mereka yang punya kebutuhan khusus, hal itu dapat dicapai dari serangkaian proses yang tidak ringan. Saat ini, dia bisa mengoperasikan beberapa program komputer dengan sedikit bantuan. Hal ini sungguh sulit dibayangkan, karena anak semacam ini biasanya seringkali membuat gerakan-gerakan motorik yang tidak beraturan dan tidak terkendali, tetapi begitu dia memegang “tuts keyboard”, dia mampu mengoperasikannya dengan lembut dan terkendali. Dia juga bisa “berkomunikasi” melalui sarana ini, main berbagai macam “games”, dapat mengetik namanya sendiri, dan beberapa kata-kata yang familiar baginya. Selain itu, dia juga sudah mulai menguasai beberapa kata dengan menggunakan bahasa isyarat, dan tidak tanggung-tanggung, bahasa isyaratnya dengan bahasa Inggris.

Wah, bagaiman mungkin dia punya kemampuan seperti itu? Jawabannya adalah pada kekuatan doa dan ketekunan SEORANG IBU. Naluri keibuannya, telah membawa Armando pada tingkat kemampuan itu. Dia lakukan proses itu “sendirian”, karena Armando tidak mendapatkan layanan optimal dari sebuah lembaga pendidikan luar biasa sekalipun !!, ironis memang tapi itulah kenyataannya. Akhirnya dengan belajar dari “dunia maya” (internet), Irma mencari pengetahuan tentang bagaimana mendidik anak seperti Armando. Dia kumpulkan segala macam artikel itu, dan langsung diuji cobakan. Jatuh bangun memang, tapi dia lakukan dengan tekun, padahal dia tidak punya latar belakang pendidikan luar biasa (PLB). Ada banyak modifikasi dan percobaan yang dilakukannya dalam mendidik Armando.

Tulisan tersebut diatas merupakan “ekspresi feeling”nya, karena Armando tidak mendapatkan kesempatan untuk bersama dengan anak-anak sebayanya di sebuah lembaga sekolah. Sebenarnya tidak untuk selamanya, karena kepentingannya adalah supaya Armando dapat berinteraksi dengan teman sebayanya, dan itupun semacam “anak bawang” di sekolah tersebut. Tapi apa jawab pimpinan lembaga tersebut : "Ibu harus lebih realistis dalam memberikan apa yang dibutuhkan Armando. Mengapa tidak membawa Armando ke tempat anak2 yang sama sepertinya saja? Saya hanya takut dia tidak akan mampu beradaptasi di sini. Bagaimana dia akan bisa berinteraksi dengan anak-anak lainnya di sini? Ia bahkan tidak mampu berkomunikasi. Saya rasa Armando dan ibu bisa mendapatkan yang lebih baik di tempat yang sesuai dengan keadaannya dibanding bila ia di sini". Apakah itu suatu hal yang “muluk-muluk” dari harapan seorang ibu? Jadi, apa yang diupayakannya untuk melatih “berbicara” Armando, pupuslah sudah..., rupanya dunia “normal” menutup pintu untuknya.

Namun, hal itu tidak mematahkan hatinya, sedih memang, tapi lihatlah bagian akhir dari tulisannya, optimisme yang luar biasa, dan memang begitulah cara memandang penyandang kebutuhan khusus. Jangan pakai ukuran orang normal, ”sekali-kali cobalah mendengarkan suara hatinya” begitu tulis Irma. Ya.. kalau mau mengenal mereka masuklah ke dalam dunianya...Siapa bilang tunantera tidak bisa melihat? Siapa bilang penyandang tunarungu tidak bisa mendengar? Siapa bilang penyandang tuna daksa tidak bisa berjalan? Siapa bilang penyandang tuna grahita bodoh? Bukankah yang sering berkata demikian adalah kita?, karena kita pakai ukuran normal, tapi cobalah dengan perspektif mereka, maka kita akan bisa melihat bahwa ternyata mereka tidak serapuh yang di duga.

Sebagai contoh, mari kita lihat penyandang tuna netra. Pengertian “melihat” bagi tunanetra adalah sesuatu yang dapat dirasakan, diraba dan di dengar. Sedangkan pengertian “melihat” untuk orang “normal” adalah sesuatu yang bisa dilihat hanya pakai penglihatan saja, dan fungsi tangan hanyalah sebagai alat bantu. Buat mereka, tangan tidak hanya sekedar alat bantu saja, tetapi berfungsi sebagai “mata” mereka, karena dengan meraba dan merasakan, bahkan hanya “membaui” dengan hidung dan mendengar dengan telinga, mereka dapat “melihat”. Bukankah hal itu luar biasa..?.

Jadi, kalau kita mau bersabar dan berempati, untuk berada di pihak mereka, apakah masih ada alasan bagi kita untuk “menolak” mereka?. Kasus yang terjadi pada Irma dan Armando, merupakan jutaan kasus yang ada di dunia ini. Kenapa orang sulit untuk melihat dan menerima penyandang berkebutuhan khusus dari sudut pandang mereka? Salah satu penyebabnya karena manusia tidak bisa memberi jawab terhadap pertanyaan kenapa mereka terlahir di dunia ini dalam keadaan semacam itu. Sehingga tidak heran, alasan yang paling mudah yang dibuat manusia, bahwa ini karena dosa orangtuanya. Pemahaman ini sudah dan masih terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, dan itu terus berkembang dalam lintas negara, jaman dan budaya...sehinga mengakibatkan mereka terdiskriminasi dan marjinal.

Di negara manapun juga, baik yang maju dan berkembang sekalipun, masih banyak dijumpai kasus-kasus marjinalisasi penyandang berkebutuhan khusus. Hanya saja di negara maju, masih lebih baik, karena proses belajar bagaimana memahami penyandang berkebutuhan khusus, difasilitasi oleh berbagai pihak. Ketika sebuah keluarga terlahir seorang penyandang berkebutuhan khusus, maka “suporting system” seperti medis, pekerja sosial, psikolog dan “stake holder” lain, semua memberikan dukungan aktif. Akibatnya, keluarga tidak terlalu lama di dalam proses penerimaan anaknya. Sehingga mereka bisa mendidik anaknya seperti kehidupan biasa seorang anak. Hal ini berbeda dengan keluarga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mereka berada dalam “stress” berkepanjangan, karena tidak mendapatkan dukungan yang kuat. Seolah mereka menanggung “sendirian penderitaan” karena kehadiran anggota keluarga penyandang berkebutuhan khusus.

Jadi untuk mengembangkan penyadaran dan cara berfikir bahwa penyandang berkebutuhan khusus, berharga di hadapan Tuhan dan manusia, maka harus dimulai dari keluarga-keluarga yang telah “menemukan” hakikat dari kehadiran mereka. Supaya keluarga dapat menemukan bahwa mereka berharga, mari kita simak Yohanes 9:1-3 : “Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”

Jawaban Yesus tersebut sangat jelas, bahwa kehadiran penyandang berkebutuhan khusus, sama sekali tidak berhubungan dengan dosa. Malahan kehadirannya mempunyai aspek yang penting bahwa “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, autis, tuna daksa dan lain sebagainya)”. Bukankah kehadiran mereka punya arti yang istimewa? Dimana keistimewaannya?. Menjadi istimewa, karena dengan kehadiran mereka, keluarga adalah orang pertama yang mendapat kesempatan melihat PEKERJAAN-PEKERJAAN ALLAH. Bukankah hal itu merupakan kehormatan yang diberikan Allah, karena tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti itu. Karena istimewa, maka tentunya orang yang mau menyaksikanNya harus mau membayar harga, yaitu melepaskan kekuatiran, kesedihan, ketakutan, ketidak percayaan dan perasaan negatif lainnya pada Salib Kristus. Inilah harga yang mahal !!, kesempatan tapi juga sekaligus tantangan.

Ada banyak keluarga yang bersaksi tentang kemenangan-kemenangan yang berhasil mereka dapatkan, tetapi ada banyak keluarga yang justru semakin terbenam dalam perasaan-perasaan itu. Jika keluarga, memilih untuk tidak melepaskan “miliknya”, maka semakin mereka tidak bisa menyaksikan pekerjaan-pekerjaan Allah. Tetapi semakin keluarga berproses melepaskan itu semua, semakin mereka bisa mensyukuri kesempantan istimewa ini.



Apa ukurannya, jika sebuah keluarga memanfaatkan kesempatan istimewa itu. Jelas yang bisa disaksikan adalah pada buahnya, yaitu pertumbuhan dan perkembangan anaknya dapat berkembang wajar walaupun berkebutuhan khusus, apapun dan bagaimanapun tingkat kebutuhan khususnya. Contoh kisah Irma Koswara diatas, adalah salah satu kisah seorang Ibu yang mampu melepaskan perasaan dan pergumulan dirinya sendiri, sehingga punya “fighting spirit” yang luar biasa. Hal ini tentunya tidak dapat diperolehnya kalau tidak berhubungan intim dengan Allah, tentunya hal ini dilakukan terus menerus sepanjang hayat. Bukankah terbinanya hubungan intim antara manusia dan Allah menjadi tujuan utama PEKERJAAN Allah? Jadi, berbaahagialah keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus, karena anda adalah termasuk orang yang dipercaya olehNya untuk menyaksikan pekerjaanNya.

Kami mau bagikan pengalaman anak kami yang sedang puber saat kelas enam dan lulus ujian SD.

Beberapa bulan menjelang ujian akhir usia anak kami hampir genap 12 tahun. Dia selalu ingat hari jadinya dan minta dibelikan kue tart Ultah, dan tepat tgl 19 Mei 2006 kami rayakan sederhana di rumah. Kami baru sadar anak kami sudah menginjak remaja, dimana sudah terjadi perubahan secara fisik secara alami. Suarapun berubah, dimana bagian alat kelaminnya sudah mulai tumbuh bulu halus.

Kami mulai mengajarkan Yansen tentang pertumbuhan seorang anak menjadi remaja dan ciri ciri yang terjadi pada dirinya. Satu hal yang berhasil adalah Yansen mulai mengerti bahwa dia bukan anak anak lagi. Ini bisa dibuktikan saat kami mengajarnya harus menutup alat kemaluannya dengan handuk saat keluar dari kamar mandi. Selama ini memang Yansen sudah biasa mandi sendiri tetapi kadang kadang masih suka nyelonong keluar bugil untuk mengambil sesuatu, eh ternyata sekarang dia ngerti dan ngak pernah lagi nyelonong bugil. Kami hanya perlu beberapa kali ingatin bahwa dia sudah remaja, jadi alat kemaluan jangan dipamerkan. Namanya alat kemaluan jadi malu kalau sampai terlihat orang lain, itu tidak sopan, dan ternyata berhasil.

Dan ketika Yansen melihat kakaknya yang cewe mengalami pertumbuhan di dadanya,
diapun bisa tanya Kok ciecie ada nen nen ya??. Kami beri penjelasan, kalau perempuan akan tumbuh dadanya sebagai bagian tubuh wanita yang nanti menjadi tempat produksi susu. Yansen kan dulu minum susu mama juga ayo ingat ngak?? Yansen tertawa cekikikan, mungkin lucu menurut pikirannya.

Kami sangat paham tidak gampang untuk mendidik seorang anak SN yang sedang menginjak masa puber. Perkembangan hormon dalam tubuhnya yang menyebabkan perubahan yang drastis, sehingga banyak hal yang dia ingin tahu dan dia mulai cari tahu. Mulai dengan memegang-megang alat kelaminnya yang mulai membesar ukurannya. Selama dia tidak memamerkan di tempat umum kami tidak kawatir dengan kelakuannya sebab kami anggap wajarlah mungkin dia sedang bergejolak akibat pertumbuhannya, dimana mukanya pun mulai tumbuh jerawat.

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah Yansen mulai suka memeluk teman temannya yang laki laki, bahkan dia mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Orang orang yang melihat tingkah lakunyapun berkomentar, wah Yansen lagi puber nih, makanya yang mengawasinya agak kewalahan. Di sekolahnya ada beberapa orang teman yang suka diganggu, maksudnya kalau ketemu dia mau peluk. Ada anak laki laki namanya Hendrik, orangnya gemuk dan rupanya Yansen suka peluk dia karena Hendrik risih tetapi tidak bisa tegas menolak saat Yansen mendekat kepadanya maka dialah yang jadi objek mainan Yansen tiap hari. Kabarnya Hendri cengeng beberapa kali sampai nangis. Dan kalau yang wanita yang Yansen suka itu Desy. Kalau ketemu, Yansen pasti mendekati dan mau pegang pegang dan reaksi Desi, saat Yansen mendekati dia adalah: iyiiiieee sambil menghindar. Rupanya Yansen suka dengan sikapnya dan respon iyiiiee nya sambil menghinda itu. Kedua orang anak itulah yang paling banyak diganggu dan untung tidak satu kelas.

Kami mulai menyelidiki dan guru-gurupun tahu kok aneh Hendrik dan Desi yang menjadi sasaran Yansen, sedang yang lain tidak. Akhirnya kami ketemu jawabannya rupanya yang lain kalau Yansen coba peluk atau pegang, mereka TEGAS menolak dan berkata: “hus jangan ganggu!!” hasilnya Yansen mundur dan cari sasaran yang lain, sedangkan respon Desi tidak tegas sehingga Yansen ingin mengulangi terus.

Karena mama Yansen yang sehari-hari menemani di sekolah, maka semua informasi dan laporan datang kepadanya, maka mamanya mulai memberitahukan cara untuk menolak Yansen kalau dia coba mengganggu. Harus TEGAS dan Yansenpun kami tegur dan ingatin terus untuk bersikap sopan dan tidak mengganggu yang lainnya, akhirnya berhasil dan belakangan Desi dan Hendrik sudah tidak pernah diganggu lagi.

Selanjutnya Yansen mulai tertarik bagian tubuh wanita terutama bagian pegunungannya. Mungkin dia terobsesi beberapa kali pernah menyenggol nen nen mamanya saat mau tidur dan dia berkomentar nen nen mama lembut ya. Yansen masih tidur sekamar dengan kami padahal kami sudah buat kamar untuk dia, tapi dia ngak mau tidur di kamarnya sendiri. Ketika kami tanya alasannya dia jawab kayak penjara. Memang kecil ukuran 1,8 X 2,2 M hanya muat ranjang single yang ada lemari dibagian kepalanya dan meja belajar,dan kalau dia duduk di ranjang langsung berhadapan dengan meja belajar. Sadar anak kami sedang puber maka kami harus extra hati hati dalam melakukan segala sesuatu di rumah. Pernah kepergok Yansen mengintip PRT mandi di ruang cuci pakaian, memang pintu ditutup tapi Yansen rupanya mengintip di balik hordeng. Kami sudah berkali kali melarang Mbaknya mandi disitu tapi dicuekin dan setelah itulah kami benar-benar melarang PRT mandi disana. Pernah juga Yansen yang menunggu giliran mandi, karena terlalu lama menunggu menggedor pintu kamar mandi dimana ciecienya sedang mandi. Tiba tiba pintu terbuka dan sempat terlihat Yansen dan berkomentar nen nen ciecie, sambil cekikikan.

Mulai saat itulah Yansen terobsesi dengan bagian pegunungan seorang wanita. Di sekolah ada temannya yang pernah dipegang-pegang Yansen bagian gunungnya, setelah kami dapat laporan dari teman cewenya itu, kami sudah berusaha mengajar Yansen tentang alat alat reproduksi seorang wanita termasuk fungsi payudara dan bagaimana sopan santun untuk tidak boleh menyentuh bagian tubuh seseorang terutama bagian yang sangat sensitif karena tidak sopan.

Dan untuk anak SN harus diingatin terus, berulang ulang. Dan sulitnya di depan kami saat kami ajarkan dengan sabar dan lembut, Yansen responnya manis: “ya, Yansen tidak lakukan lagi.” tapi dia bisa ulangi lagi dan ulangi lagi. Makanya kami HARUS TEGAS dan agak dikerasin (tidak bisa longgar).

Yansen bahkan makin tertarik melihat penampilan seorang wanita. Hal ini bisa kami lihat dia selalu memilih baju tidur untuk mamanya. Tiap hari sebelum mamanya mandi dia sudah siapkan, mama pakai baju ini, kemudian senyum-senyum puas kalau mamanya memakai pilihannya. Karena kami melihat tingkat lakunya sudah seperti seorang pria dewasa, maka kami memutuskan Yansen tidur sama papanya dan ciecienya tidur dengan mamanya. Untuk menghindari obsesinya tentang payudara seorang wanita yang mungkin tidak sengaja tersentuh atau terlihat olehnya.

Kemudian saat yang ditunggu anak-anak kelas 6 tiba yaitu Ujian Akhir Sekolah. Persiapan Yansenpun seadanya, karena obsesinya tentang nen nen tadi sangat mengganggu konsentrasi belajarnya. Sering kalau dia ingat dia nyeletuk nen nen si anu nen nen si anu lalu tertawa meresapi apa yang sedang dia imajinasikan.

Hal itulah yang kami tidak mau, dia ada didalam dunianya sendiri dan kami berusaha supaya Yansen tidak terlarut dalam dunianya. Untung saat ujian Yansen bisa mengerjakan soal-soal dengan baik sesuai dengan waktu ditentukan. Kami menjanjikan Reward Kalau lulus, Yansen boleh ke Palembang.

Ada cerita lucu saat ujian matematika. Karena yang jaga bukan guru dari sekolahnya, maka merekapun tidak kenal Yansen. Ceritanya waktu ujian mat habis dan bell berbunyi Yansen nyeletuk belum selesai dan dia bertahan di mejanya dan terus menyelesaikan. Guru pengawas akhirnya memberi waktu 5 menit tetapi akhirnya wali kelasnya masuk dan mengambil kertas ulangan yansen untuk diserahkan kepada pengawasnya. Terakhir guru pengawasnya tahu Yansen anak SN, mereka paham dan berkenalan dengan Yansen.

Sebelum libur sehabis ujian, sekolahnya mengadakan perpisahan di Taman Cibodas Puncak dan acara Happy ending ini diikuti seluruh murid. Ada beberapa ortu murid ikut termasuk mamanya Yansen. Acara perpisahan ini menorehkan memori yang indah dimana anak-anak terlepas sesaat dari beban belajar dan boleh santai. Dan saat malam api unggun mereka saling merangkul dan saling minta maaf. Yansenpun bisa minta maaf kepada Hendrik dan Desi yang selama ini selalu diganggu dan mereka semua bebaikan dan menerima Yansen dengan suka cita, bermain dan berfoto bersama.

Ada yang mengagetkan, saat Yansen berjalan bersama mamanya didaerah perbukitan taman cibodas sambil berangkulan, ada pengunjung yang nyeletuk: “rasanya dunia ini milik berdua.” jadi mereka mengira Yansen sedang berpacaran dan mamanya adalah pasangannya. Memang ternyata Yansen sudah besar dan lebih tinggi dari mamanya, dan waktu berlalu tak terasa. Anak kami Yansen tumbuh menjadi seorang remaja.

Pada saat libur seminggu sebelum ke Palembang, pas malam minggu Yansen mengajak main ke Time Zone. Karena sudah lulus dan tinggal menunggu cap 3 jari untuk ijazah, maka saya setuju malam itu boleh ke mall sekalian makan malam dan kemudian anak-anak main Time Zone. Siangnya, mamanya laporan kalau tadi Yansen ngomong nen nen mbak Karni dan memegang payudara PRT tersebut, makanya sebelum berangkat ke mall saya panggil Yansen: “sini sen tadi Yansen berlaku kurang sopan sama mbak Karni. Boleh ngak Yansen lakukan?” jawabnya: “ngak lagi”. Terus saya bilang minta maaf sama mbak Karni, dia nurut dan lakukan, maafin Yansen ya mbak. Terus saya ngomong:”Janji Ya sen Papa ngak mau Yansen ngomong nen nen siapapun dan jangan pegang-pegang nen nen siapapun, nanti papa hajar kamu”. Dan mamanya tambahin kalau ngomong-ngomong nen nen lagi ngak jadi ke Palembang. Jawabnya manis:”ya Yansen ngak lagi”. Dia tambah lagi harus kendalikan diri dan harus sopan. Cobaaa jawabannya kan manis sekali.

Pada saat perjalanan ke mall, eh ternyata Yansen ngomong lagi nen nen mbak karni, sambil ketawa. Kami kembali menegurnya. Kalau Yansen belum bisa mengendalikan diri kita pulang, tidak usah ke Time Zone. Kemudian Yansen jawab ngak lagi, tidak boleh ngomomg nen nen ,ngak sopan ya.

Nah saat kami jalan-jalan di mall setelah makan eh rupanya Yansen teringat lagi obsesinya tadi, dia nyeletuk, nen nen mbak karni, sambil tertawa tawa, nen nen Novi, sambil cekikikan asik sendiri. Makanya mamanya tegur dia, kok ngomong nen nen lagi? kan yansen sudah janji, awas kalau ngomong lagi mama jewel mulutnya.

Ternyata ngak lama kemudian dia ulangi lagi, ngomong lagi sambil tertawa. Karena dilarang tidak bisa, akhirnya mamanya mencubit pipinya. Reaksinya dia malah melawan dan dengan gregetan mau balas dan menjamah nene mamanya sambil meremes. Saat itu tangannya ditepis mamanya, kemudian berkata ke Palembang batal saja. Melihat mamanya marah Yansen minta maaf dan mencoba menawar hukuman lain tapi ke Palembang jangan batal. Mamanya bilang tidak bisa, dan kami memang
sepakat kalau mama bilang tidak bisa kemudian si anak berpaling kepada papanya jawabannya sama. Kasus ini sekaligus menjadi test case untuk membaca kemampuan berpikir yansen, ternyata otaknya jalan, dia kemudian mengajukan penyelesaian kasusnya karena merasa bersalah, dan berkata ke Palembang jangan batal, hukum yansen saja pa. Dan kami harus tega untuk melakukan hukuman lain itu.

Sebenarnya kami memang tidak bermaksud membatalkan perjalanan ke Palembang karena itu janji kami kalau Yansen lulus. Tapi karena Yansen berbuat aneh aneh kami coba ancam dia dengan hal lain. Tetapi setelah menginjak umur 12 tahun ancaman tidak mempan lagi, bahkan Yansen bisa nego memilih dihukum daripada membatalkan apa yang menjadi keinginan favoritnya.

Sampai saat ini kami masih terus belajar untuk dapat mendidik anak kami dengan baik. Bagaimana mendidik anak spesial kami saat bertumbuh menjadi remaja, apalagi menghadapi masa pubertas. Kami baru sadar hukuman fisikpun tidak efektif lagi, bahkan Yansen punya senjata untuk meluluhkan hati kami saat kami mau menghukumnya.

Ketika tiba waktunya berangkat ke Palembang, maka saya mempersiapkan tiket untuk 3 orang mama, Yansen dan Yani serta ikut pula ketiga sepupunya 3 orang. Yansen dapat menikmati liburannya selama 2 minggu di kampung mamanya dan kembali ke Jakarta menjelang masuk Tahun ajaran baru dimana Yansen terdaftar sebagai murid kelas 1 SMP.